Satu 🎧

135 21 17
                                    

🎧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎧

Sore sudah menjelang kala mobil hitam milik keluarga besar Sadam Husein tiba di pekarangan. Meskipun hanya dilihat dari luar, cowok yang baru saja turun mobil sudah bisa merasakan hawa sunyi dari bangunan tinggi bertingkat tiga di depannya itu.

Alibinya tadi bukan tanpa sebab, melainkan ia sudah terbiasa mendapat rumah kakeknya akan sepi di jam-jam seperti ini. Karena biasanya, sang kakek akan pulang ke rumah satu jam sebelum azan Isya' berkumandang. Hal itu disebabkan oleh pekerjaan sang kakek yang terbilang cukup padat di perusahaan.

Sebagai direktur utama sekaligus pemilik nama PT. RE Husein, pria yang berusia hampir satu abad itu tidak pernah terlihat lelah mengurus beberapa perumahan di kawasan Jakarta Barat. Hal itulah yang membuat waktunya bersama sang cucu terpotong tiap harinya. Alhasil, ia juga tidak sempat mendidik sang cucu lebih dalam terutama dalam hal keagamaan.

Mengirimnya ke pondok pesantren pernah ia pikirkan, tapi tidak jadi direalisasikan. Salah satu alasannya, ia tidak ingin jauh-jauh dari cucu semata wayangnya. Apalagi dengan sikap Angkasa yang pastinya akan menolak keras usulan tersebut. Maka dari itu, ia memutuskan untuk mengirim Angkasa ke TPA saja untuk belajar mengaji dengan harapan, cucu satu-satunya itu akan bisa menjadi seseorang yang diharapkan oleh mendiang ayahnya dulu.

"Aden?"

Sapaan itu membuat lamunannya yang hampir saja beterbangan kemana-mana itu terkumpul jadi satu. Ia menoleh ke belakang, lalu mengulum senyum tipis. Dengan gerakan tanpa suara, ia sudah berjalan mendekati wanita seumuran kakeknya itu dan mengambil alih dua plastik besar ke tangannya.

"Eh, Aden. Biar Simbok saja yang bawa," pinta wanita paruh usia itu mencoba meraih kembali barang belanjaan yang diambil majikannya.

"Tangan Kasa nganggur, Mbok. Ntar jadi bisulan kalau nggak dipakai ngebantu orang lain," balas cowok itu menaikkan kedua alisnya.

"Tapi, Den. Itu barangnya banyak lho. Nanti tangan Aden pegal." Sepertinya, Simbok masih berusaha untuk tidak merepotkan cowok itu.

Bukannya menuruti maksud tersembunyi dari Simbok, Angkasa justru terkekeh. "Mbok nggak tau, ya? Otot Kasa udah kayak gapura kabupeten. Jadi, bawa kek ginian mana ada berat-beratnya," candanya dengan mata yang semakin berbentuk bulat sabit akibat tertawa.

Simbok alias asisten rumah tangga itu tidak punya pilihan lain kecuali membiarkan pemuda tadi melakukan apa yang dia mau. Toh, bukan sekali ini saja pemuda itu bersikap baik seperti sekarang. Bahkan tiap harinya, aktifitas Simbok tidak pernah dikerjakan tanpa campur tangan pemuda itu.

"Ayo, Mbok. Kita masuk! Kasa udah laper nih," gurau Angkasa dengan sengaja. Ia tahu jika wanita itu pasti merasa tidak enak karena tingkahnya.

Simbok memberikan anggukan singkat. "Terima kasih, ya, Den. Sudah mau membantu Simbok."

"Santai, Mbok. Setelah ini, Mbok bakal masakin sayur lodeh, kan, buat Kasa?" tanya cowok itu.

"Tentu saja, Aden. Simbok bakal masakin semua makanan kesukaan Aden," jawab Simbok begitu sumringah.

Angkasa-Nasya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang