DARK EYES

5 3 0
                                    

Happy reading!!    
Bukan horor

    Remaja tanggung itu bernama Katrina—Katrin. Gadis itu sudah dua tahun tinggal sendirian di apartemen, bahkan ia masih ingat bagaimana bisa sendirian.


     Malam itu terasa berbeda dengan malam-malam sebelumnya, rumah besar yang tak ubahnya istana terlihat sibuk sejak pagi tadi. Katrin sendiri menggosok kedua matanya, baru bangun dari tidur panjang yang rasanya sangat melelahkan. Sejak dulu, gadis itu tidak pernah bisa tidur. Sampai suatu ketika ia baru bisa tertidur saat ibunya pulang dan memberikannya sebotol serum berwarna bening, baunya sedikit asing dan rasanya hambar.

“Aku akan membawanya pergi dari sini.”
Samar-samar suara ayahnya terdengar sedang menelpon seseorang. Kemudian suaranya menjauh dan hilang.
Katrin melangkah menuju pintu, memutar knopnya dan ternyata terkunci. Ia merasa tidak perlu mengulanginya lagi, lantas kakinya melangkah menuju ke meja belajar, menarik loker untuk mencari kunci. Loker itu kosong. Ini mulai terasa aneh, biasanya ada banyak benda dan kertas di loker termasuk kunci pintu kamarnya.

     Katrin bergeser ke jendela, kamarnya berada di lantai paling atas, terpisah jauh dari ruangan lain. Ketika kepalanya menengok ke bawah, ada beberapa barang yang diangkut ke mobil-mobil besar. Ia melihat ayah dan ibunya terlihat sibuk di bawah sana, berkali-kali memberi arahan, berteriak-teriak. Tapi suaranya tidak terdengar jelas sampai ke lantai atas.
Tengah malam, saat gadis itu kembali terlelap setelah makan. Ia dibawa pergi dengan mobil, ke kota yang jauh.


     Pagi harinya, saat ia terbangun. Katrin menyadari jika ini bukan kamarnya, suasana ini berbeda. Saat kakinya menapaki lantai, bukan marmer seperti di rumahnya. Ia sedikit limbung, pertama ia melangkah menuju jendela dan membukanya. Sinar matahari menyapa, membuat matanya menyipit. Maka sejak hari itu, ia tahu jika dirinya berada di tempat yang jauh, sendirian.

Pagi ini, gadis itu masih memandangi langit yang sama. Hanya saja ia bukan anak-anak lagi, ia adalah remaja yang sudah mengerti sedang berada dalam situasi seperti apa dan harus melakukan apa. Setiap pagi selalu ada pesan kecil di atas meja belajarnya. Katanya, ‘Hati-hati’. Terkadang juga bertuliskan, ‘Life is a choise’. Hari ini, ia mendapat tulisan yang berbeda, ‘Kamu harus bisa memilih’.

Ia juga tahu jika hidup adalah pilihan. Pandangannya jatuh pada jalanan di bawah sana. Kedua matanya selalu terlihat gelap, tapi bukan hitam. Tatapannya juga tidak kosong. Bukan perkara kornea atau bola matanya, tapi setiap beberapa bulan sekali pada jumlah bulu mata tertentu miliknya, akan ada yang pergi.

Terjadi di bulan ke 15 tahun itu, ia pergi sekolah seperti biasa dengan tas ransel warna kuning, terlihat mentereng di sepanjang jalan. Langkahnya terhenti tepat setelah sebuah mobil melintas kencang, membuatnya menggosok mata dan melihat dua bulu mata menempel di jarinya.

101 bulu mata, itu pertanda buruk. Tapi ia hanya tidak perlu melihat orang lain. Sepanjang perjalanan ia terus menunduk, tak ingin melihat sekitar, meski aroma makanan pedagang kaki lima menyeruak atau pun orang-orang yang tanpa sengaja menabrak bahunya. Ia tidak mau peduli.

…..

“Hai, Katrin!” Sapaan itu selalu terdengar sama.

“Bagi contekan, dong!”

     Sekitar lima orang dihadapannya, menghadang di tengah lapangan membuat Katrin seketika mendongak, pandangannya menyapu wajah mereka satu persatu.
101 bulu mata, maka saat mereka selesai menyalin jawaban Katrin dan membuang buku gadis itu ke gudang yang gelap, dingin, dan pengap. Mereka kompak berlari menaiki tangga, menuju ke atap gedung sekolah. Seakan terhipnotis, tidak peduli beberapa murid lain tersungkur dan terinjak oleh mereka.

Atap gedung sepi, siang ini langit terlihat berawan, gemuruh petir dan kesiur angin terdengar berisik seakan berbisik dari kejauhan. Hujan turun setelah mereka berlima melompat dan jatuh terjerembap ditengah anak-anak yang sedang berolahraga.

…..

     Maka satu jam kemudian, setelah semua warga sekolah dievakuasi, mata pelajaran diberhentikan, sekolah diliburkan selama seminggu dan buku Katrin masih ada di gudang, luput dari investigasi polisi, CCTV di lorong gudang rusak.

Dua bulan berikutnya, murid-murid disekolah itu dimutasi ke berbagai sekolah tinggi di kota. Termasuk Katrin, karena sekolah benar-benar ditutup permanen.

     Maka pagi itu, Katrin dengan 102 bulu matanya. Menyapa satpam sekolah, guru-guru baru dan beberapa temannya. Ia melihat tukang kebun yang menyapu halaman, lalu melangkah melewati koridor, ia melihat segerombolan murid di depan mading. 
Katrin terus melangkah, sesekali ia melihat pantulan dirinya dari kaca-kaca jendela yang buram di sepanjang kelas.

“Hai, Katrin!” Rasanya seperti dejavu, tapi itu Ina, sahabatnya selama ia dirumahkan. Unit apartemen Ina berbeda satu lantai dengannya.
 
“Eh, lihat! Bulu mata mu lepas.”

Tangannya terulur, menjumput satu bulu mata Katrin yang tiba-tiba diam mematung. Isi kepalanya kosong, karena semua ini terlalu tiba-tiba. Tak lama setelahnya, terdengar suara mobil ambulans datang, susul-menyusul, tidak hanya satu-dua. Kemudian terdengar suara teriakan yang memekik, menjerit minta tolong.

     Semua murid berhamburan keluar, menuju halaman sekolah, total ada sebelas ambulans dan dua mobil polisi. Tukang kebun diangkut, tidak terlihat terluka, beberapa murid juga diangkut dibantu beberapa guru. Sekilas Katrin melihat ada dua orang guru yang ia sapa tadi pagi, juga dibawa naik ke ambulans dan tiga remaja digiring ke mobil polisi. Suasana mulai tak terkendali.

     Katrin segera menoleh ke belakang, dengan cekatan menarik tangan Ina keluar dari kerumunan. Mereka berlari masuk melewati koridor, menaiki tangga, meninggalkan kebisingan di luar sana. Pagi itu lapangan heboh, sama seperti kejadian dua bulan yang lalu. Tidak, tidak boleh, seharusnya tidak seperti ini.

     Di ruangan kosong yang ukurannya tak kurang dari 3,5 x 3 meter, Katrin masih menggenggam lengan Ina, ia tidak mau melepasnya. Napas keduanya masih terengah, Katrin mengedarkan pandangan, kepalanya masih pusing. Ia takut, sangat takut.

“Kumohon, jangan pergi! Kamu tidak boleh pergi!”

“Aku tidak akan pergi.”

“Jangan pergi!” Gadis itu menangis kencang, berteriak. Ia belum paham situasinya.

‘Seharusnya kamu lebih bijak, Katrin.’
‘Kamu tahu? People come and go.’
‘This is your fate.’
‘Terkadang ambisi bisa membuat banyak orang pergi, Katrin.’

     Lalu angka 101 itu muncul dalam kepalanya, matanya terpejam erat. Semua kejadian berputar, kepalanya pusing dan rasanya semua ini seperti baru kemarin.

‘Jika kamu sudah dapat 100, maka tidak perlu mencari 101.’

Katrin mendongak, menatap sahabatnya yang tersenyum. Pandangan pemilik mata gelap itu mengabur, seluruh tubuhnya terasa lemas dan—ia tidak mau pergi. Lantas tubuhnya limbung, terjatuh di atas lantai keramik yang dingin.
Tapi permainan ini sudah berakhir, juga dengan Ina, masih berdiri di sana dengan senyuman terbaiknya.

“Dia benar, Katrin. Ambisi bisa membahayakan banyak orang.”

“Di dunia ini, tidak semua bisa kamu pertahankan.”

Karena kita hanya punya pilihan dan kita harus melepas salah satunya. Bisa jadi, boomerang terbesar itu ada di antara pilihan mu yang belum terseleksi.

Thanks buat support nyaa, besok mungkin bakal ada lagi tapi nggak tau yaa.

See you..

DARK EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang