Lembar 3 | Utuh tapi hancur

Mulai dari awal
                                    

      Dhega semakin menenggelamkan wajahnya pada pundak Bayu saat mendengar kalimat kesekian kali dari Ayahnya. Dhega merasa bersalah, karena hingga detik ini hanya Ayahnya-lah yang berjuang untuk dirinya serta melawan egonya yang lain.

      “Dhega sayang sama, Ayah,” gumamnya lirih.

      Bayu tersenyum, “Ayah juga sayang Dhega sama Haga.”

🍂

     “Minggu depan kamu udah mulai les fisika sama Bu Felisia, Sadhan.” dahinya berkerut, alisnya saling bertautan—Sadhan menatap Bundanya dengan pandangan yang seolah meminta penjelasan.

      Ketika ia telah usai mengunyah makanannya, Sadhan mulai berbicara, “Kan Sadhan udah les sama Bu Intan, Bun?”

      Rosa menaruh satu gelas susu air putih di hadapan anaknya bersamaan dengan sebuah botol obat yang berisikan vitamin yang kerap Sadhan minum—dan itu wajib. Setelahnya Rosa menarik kursi dan duduk di antara beberapa hidangan sarapan pagi yang Rosa masak sendiri untuk Sadhan.

      “Katanya les di Bu Felisia lebih bagus, dan banyak anak dari teman Bunda yang les di sana jadi orang sukses,” tukas Rosa sembari tersenyum. “Jadi, Bunda di rekomendasikan mereka buat masukin kamu kesana.”

      Sadhan kembali memicing, “Terus, les di Bu Intan gimana?”

      “Ya, kamu udah gak perlu lagi les di sana sayang.” Rosa menggantungkan ucapannya, mengambil satu buah telur rebus lalu meletakkannya di atas piring anaknya. “Dan banyak temen Bunda bilang juga, kalau kualitas di sana jauh lebih baik.”

      “Di sana menjamin bisa kuliah di universitas terbaik,” lanjutnya, sebelum akhirnya menyantap makanannya.

      Sadhan tak mampu mengelak apa yang telah Bundanya ucapkan. Karena pada dasarnya, Sadhan juga begitu ingin membahagiakan Bundanya, membuat wanita itu bangga akan dirinya. Maka dari itu Sadhan tidak pernah sedikitpun melawan Bundanya.

      Bagi Sadhan, arahan Bundanya adalah arahan terbaik yang harus ia ikuti. Ia yakin, Bundanya melakukan semua ini terhadapnya semata-mata ingin menjadikannya anak yang sukses.

      “Bun,” panggil Sadhan saat Rosa sedang menyantap sarapannya. Wanita itu mendongak, menatapnya seolah meminta penjelasan atas apa yang ingin dirinya katakan.

      “Kamu mau ngomong apa, Nak?” tanya Rosa.

      Menelan salivanya, Sadhan juga membasahi bibirnya sebelum berbicara, “Ayah kemarin tanya apa Bunda sama Dhega bertengkar?”

      Mendengar hal itu, Rosa membuang napas kasar. Seperti ada hal tak begitu ia sukai saat Sadhan membahas soal mantan suaminya dan juga anak bungsunya. Bahkan selera makan Rosa tiba-tiba saja hilang begitu saat. Ia merutuki Bayu yang bertanya begitu gamblangnya pada Sadhan.

       “Lanjutkan makan kamu, Sadhan ... Lekas berangkat ke sekolah.”

      Seperti apa yang telah Sadhan kira sebelumnya, jika Bundanya tidak akan pernah mau membahas Ayahnya juga adiknya. Harusnya Sadhan paham akan hal itu dan tidak membahasnya langsung.

      Tangan Sadhan bergerak, lalu menggenggam tangan Rosa erat. Melihat hal itu Rosa seketika mendongak.

      “Maafin Sadhan, ya, Bun ... Gak seharusnya Sadhan bahas itu,” ujarnya lirih dengan tatapan sendu, seolah mengungkapkan jika ia begitu menyesalinya.

Rumah Tanpa PintuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang