"Kamu ngelakuin semua itu tanpa sepengetahuanku sebagai Ibunya? Vin, Elen belum lancar baca tulis. Gimana bisa kamu masukin dia ke SD?"

Kepala Gavin menggeleng. Kedua tangannya memegang bahu kanan dan kiri Vanya agar perempuan itu mau mendengarkan penjelasannya lagi.

"Sebelum aku pergi, aku udah siapin semuanya buat kalian. Mulai dari rumah, biaya hidup, sekolah Elen, semua udah aku siapin. Aku gak mau pergi dengan tangan kosong."

"K-kamu..."

"Aku udah tau sampai rumah nanti akan ada apa. Makannya aku minta sama Mama buat antar jemputan ke sini karena aku mau langsung nyerahin diri."

Air mata Vanya tiba-tiba menetes mendengar ucapan Gavin malam ini. Dia bergerak memeluk erat tubuh Gavin.

Gak munafik, sebenarnya Vanya nyaman dengan Gavin versi ini. Tapi kalau sedang sendirian, kadang Vanya teringat masa-masa buruknya kala itu.

"Kenapa nangis?" Gavin membalas pelukan Vanya. Bibir Vanya bergetar. Ia tak sanggup mengucapkan kata-kata lagi.

"Maaf," Isak Vanya dalam pelukan Gavin.

"Yang minta maaf harusnya aku. Gara-gara aku hidup kamu berantakan. Gara-gara aku kamu jadi harus besarin anak dari laki-laki brengsek. Gara-gara aku mental kamu rusak. Aku minta maaf, Vanya. Bener-bener minta maaf."

Gavin mengecup pucuk kepala Vanya cukup lama. Ia juga menangis dan tak mau Vanya melihat air mata itu sebab tidak sepantasnya seorang bajingan mengeluarkan air mata.

Merasa isakan Vanya tak kunjung reda, Gavin berinisiatif mengelus punggung perempuannya. Ia bawa Vanya ke sofa yang berada di dalam kamar itu dan memangkunya. Ia biarkan Vanya menyandarkan kepala di ceruk leher Gavin sendiri.

"Van, kamu masih cinta sama aku?" Bisik Gavin tiba-tiba. Bulu kuduk Vanya merinding seketika.

"Ka-kamu tau?" Gavin mengangguk.

Flashback.

"Van! Ada cowok yang kamu suka gak di sekolah ini??" Tanya Acel berjalan di sebelah Vanya. Saat ini mereka akan menuju ke lapangan basket untuk olahraga.

"Em... Kalau kamu ada yang kamu sukai gak?"

"Kok malah tanya balik sih. Jawab dulu pertanyaanku."

Sembari menunggu jawaban dari Vanya dan teman-temannya yang lain sampai di lapangan, Acel membawa Vanya duduk di tribun samping lapangan basket. Ada anak dari kelas lain yang juga sedang olahraga di sini. Itu kelasnya Gavin, jadwal olahraga mereka berbarengan.

"Ada," Jawab Vanya dengan pandangan mata menatap salah satu murid yang tengah pemanasan di barisan sebrang sana. Herannya, hanya ada dia di barisan itu, teman-temannya yang lain kemana?

"Siapaa?? Spil! Spil!"

"Nggak deh, Cel. Aku takut. Dia banyak yang suka di sini. Anak sekolah lain juga pada mengincar dia."

"Ck gak apa-apa. Cuma aku doang yang tau," Paksa Acel agar dia dan Vanya saling terbuka.

"Yakin gak apa-apa?"

"Kamu gak percaya aku?"

Wajar saja kalau Vanya ragu. Dia dan Acel baru berteman beberapa bulan lalu mengetahui mereka baru saja menduduki kelas 10 SMA.

"Itu, Gavin ganteng banget," Celetuk Vanya bertepatan keempat teman Gavin yang lain melewati depan tribun.

Spontan dia membekap mulutnya sendiri. Pasti empat orang itu dengar karena mereka terkekeh mendengar Gadis culun menyukai Gavin yang notabenenya teman mereka dari orok.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now