Amato menatap Halilintar dengan mata yang tak bisa menyembunyikan rasa bersalah. "Lintar, kau ikut Papa. Papa akan menjagamu dan memastikan kau mendapatkan yang terbaik." Suaranya terdengar berat, penuh penyesalan.
Mesya berlutut di depan Gentar, mengusap air mata anaknya. "Gen, kau ikut Mama, sayang. Mama akan selalu bersamamu."
Halilintar menggenggam tangan Gentar erat-erat. "Aku tidak mau meninggalkan Gentar..." suaranya parau, hampir tak terdengar.
"Aku juga tidak mau pisah, Abang..." balas Gentar sambil menangis.
Pelukan mereka erat, seakan ingin menghentikan waktu dan mencegah perpisahan yang menyakitkan itu.
Namun, keputusan telah dibuat. Amato membawa Halilintar pergi, meninggalkan rumah dengan langkah yang sedikit berat, karena terpaksa harus memisahkan putra sulungnya dan putra bungsunya. Sementara Halilintar juga merasa berat hati meninggalkan Gentar yang masih terisak nangis meskipun sang ibu mencoba untuk menenangkannya.
Langit akhirnya menangis bersama mereka, hujan turun deras, membasahi dunia yang kini terasa semakin dingin dan sepi bagi kedua anak itu.
Pada dasarnya pernikahan dua orang dewasa itu tidak didasari oleh cinta. Mereka pun memilih berpisah tanpa adanya rasa penyesalan yang mendalam. Amato dan Mesya menikah hanya karena orangtua mereka yang menjodohkan mereka demi keuntungan bisnis bersama, sebuah kesepakatan yang mengorbankan kebahagiaan mereka.
Masing-masing di antara mereka sudah memiliki seseorang yang dicintai. Mesya juga tahu bahwa Amato sudah menikah dengan Mara, wanita yang selalu mengisi hati Amato. Tidak ada kecemburuan Mesya terhadap hubungan Amato dan Mara, karena Mesya pun melakukan hal yang sama seperti Amato, dirinya juga menemukan cintanya di luar pernikahan.
◆◇◆◇◆◇◆◇
Di tempat lain, sebuah mobil yang nyaman melaju di jalanan basah, menggoda suara hujan yang lembut saat menimpa atapnya. Di dalamnya, seorang anak laki-laki kecil berusia sepuluh tahun, Gempa, memandang ke luar jendela dengan mata berbinar, senyuman di bibirnya tak pernah pudar.
"Gempa tampaknya kamu senang sekali ya~" goda Mara, ibunya, yang duduk di sampingnya. Senyuman lembut Mara menenangkan hati Gempa, melihat kegembiraan yang terpancar dari wajah anaknya.
"Iya, Bunda. Gem tidak sabar ingin bertemu dengan Om Amato, terutama Abang. Karena Gem nggak pernah lihat Abang Lintar!" jawab Gempa dengan antusias, suaranya penuh semangat. Ia tampak begitu menantikan kehadiran ayah dan kakak barunya, membayangkan momen-momen bahagia yang akan datang.
Mara menatap putranya lembut, "Gem penasaran wajah Abang?" tanyanya, dan Gempa mengangguk penuh semangat.
"Abang kamu tampan, sayang. Dia juga pintar dan... orang yang baik..." kata Mara, meskipun ada keraguan dalam ucapannya.
Kenangan pertama dan satu-satunya tentang Halilintar masih terpatri dalam ingatannya, saat ia melihatnya sekilas. Dia tahu, Halilintar adalah anak yang sulit didekati, seolah-olah dia memasang dinding penghalang di sekeliling hatinya. Dia seperti gunung es yang sulit dicairkan, dingin dan tidak terjangkau.
Namun, di balik semua itu, Mara merasakan cinta yang mendalam dalam diri Halilintar, terutama untuk adiknya, Gentar. Harapan Mara semakin kuat; dia berharap Halilintar juga dapat menyayangi Gempa sebagai saudaranya.
"Pasti Abang langsung menyukai Gem," ujarnya, berusaha menanamkan keyakinan dalam hati anaknya. Wajahnya memancarkan harapan, meski keraguan menyelinap di antara senyumnya.
Mara tertawa kecil, lalu mengusap lembut rambut anaknya, "Pasti Abang kamu nanti akan menyayangimu, sayang."
"Gem berharap juga gitu," balas Gempa, senyumnya tetap mengembang, tak menyadari kompleksitas emosi yang akan dihadapinya.
Namun, di balik senyum itu, Mara menyimpan keraguan yang mendalam. Ia tahu, menyatukan keluarga ini tidak akan mudah. Sisi gelap dari perpisahan dan trauma yang dialami Halilintar dan Gentar sudah terukir dalam hati mereka. Gempa adalah anak yang baik hati, tapi dia tidak tahu betapa sulitnya bagi Halilintar untuk membuka hati.
"Pokoknya, pas kita sudah tiba, kamu yang akrab sama Abang kamu ya, dan nurut sama Abang kamu," pesan Mara, berusaha mempersiapkan Gempa untuk apa yang mungkin akan terjadi.
"Iya, Bunda," balas Gempa, tersenyum kecil, tampak begitu antusias dan optimis dengan kehidupan barunya yang menunggu di depan. Dia membayangkan bermain bersama Halilintar, menjelajahi dunia baru yang penuh petualangan dan kebahagiaan.
Langit yang cerah di atas mereka hanya menyembunyikan badai lain yang akan segera datang. Di dalam hati Mara, ada perasaan cemas yang tak terungkapkan. Dia tahu bahwa setiap pertemuan membawa harapan, tetapi juga potensi untuk kekecewaan.
Entah apa yang akan dialami Gempa ke depannya. Kesedihan dan kebahagiaan, cinta dan benci, semua akan saling bertabrakan dalam perjalanan ini. Mara berharap Gempa dapat menemukan tempatnya di dalam keluarga yang baru, namun ia juga tahu bahwa tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana reaksi Halilintar. Dalam perjalanan yang penuh ketidakpastian ini, satu hal pasti: setiap langkah akan mengungkapkan kekuatan dan kelemahan dari ikatan yang terjalin di antara mereka.
Tbc....
YOU ARE READING
𝐖𝐡𝐢𝐥𝐞 𝐘𝐨𝐮 𝐖𝐞𝐫𝐞 𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦𝐢𝐧𝐠
Teen FictionBrothership & Angst Story Halilintar|Gempa|Gentar No bxb!
°Prolog°
Start from the beginning
