Langit mendung menggantung di atas rumah besar itu, seolah merasakan kegelisahan yang merasuki setiap sudut ruangan. Awan gelap seakan mencerminkan suasana hati yang mendera penghuninya.
Di tengah-tengah ruang tamu yang lumayan megah, berkarpet mewah dan beraroma wewangian, dua anak itu berdiri memeluk satu sama lain, tubuh mereka bergetar akibat isak tangis yang tak mampu mereka tahan.
Halilintar yang berusia lima belas tahun, dengan mata yang kini memerah sembab, ia menggenggam erat tangan adiknya, Gentar, lima tahun, yang tubuhnya mungil gemetar hebat.
Di depan mereka, Amato dan Mesya, orang tua mereka, beradu mulut dengan nada tinggi, kata-kata tajam seperti pisau yang menusuk hati kedua anak itu. Mainan-mainan berserakan di lantai, terabaikan di tengah badai pertengkaran orang tua mereka.
"P-pa, jangan pisahkan aku dengan adikku!" teriak Halilintar, suaranya serak, terbata-bata di antara isak tangis. Air mata membasahi pipinya, meninggalkan jejak garam yang terasa pahit.
"Mama, aku tidak mau berpisah dengan abang," isak Gentar, suaranya seperti burung kecil yang terluka. Tatapannya yang polos dan penuh kepedihan menusuk hati, namun sepertinya tak mampu menembus tembok ego orang tuanya.
"Tidak! Lintar, kamu ikut Papa, dan kamu, Gentar, ikut dengan Mamamu! Itu sudah keputusan akhir!" suara Amato menggelegar, penuh amarah yang tak terkendali. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang. Ia tampak seperti orang asing, jauh dari sosok ayah hangat yang mereka kenal.
"Tidak, Amato! Kau tidak bisa seenaknya memutuskan seperti itu! Anak-anak seharusnya ikut denganku. Kau hanya mempertimbangkan dirimu sendiri!" balas Mesya, nadanya tak kalah keras, suaranya bergetar menahan amarah.
Mesya, meski jarang meluangkan waktu untuk kedua anaknya, masih memberikan kasih sayang yang tulus. Berbeda dengan Amato yang terjebak dalam dunia kerjanya, seorang workaholic yang selalu mengutamakan karier di atas segalanya.
Amato mengepalkan tangannya, wajahnya memerah. "Mesya, kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri, apalagi dua anak sekaligus! Aku tahu apa yang terbaik untuk mereka." Kata-katanya menusuk, seperti anak panah yang menancap di hati Mesya, membuatnya merasa terpojok.
Mesya tahu jika Amato hanya menginginkan putra sulung mereka. Halilintar, yang pintar dan memiliki sikap yang lebih dewasa dan mandiri di usianya yang masih remaja, menjadi prioritas bagi Amato sebagai ahli waris kekayaannya. Berbanding terbalik dengan Gentar yang lebih manja dan bergantung pada kasih sayang orang tuanya.
"Kau pikir kau tahu yang terbaik? Kau tidak pernah ada di rumah! Kau bahkan tidak tahu apa yang mereka sukai atau apa yang membuat mereka takut!" seru Mesya, suaranya semakin meninggi. Ia menunjuk Amato dengan jari yang gemetar. "Kau hanya peduli pada dirimu sendiri dan wanita simpananmu itu!"
Tanpa Mesya sadari kalimat terakhir yang dia ucapkan menanamkan rasa benci putra sulungnya terhadap wanita yang Mesya sebutkan tadi.
Pertengkaran mereka semakin memanas, kata-kata kasar berhamburan, melukai hati kedua anak yang hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Namun, di tengah badai itu, suara kecil Gentar terdengar, menggetarkan hati mereka sejenak.
"Ma, Pa, aku ingin bersama kalian dan juga abang..." Suara Gentar bergetar, penuh harap. Kata-kata sederhana itu, penuh dengan kerinduan akan keluarga utuh, seakan menusuk hati Amato dan Mesya, namun hanya sebentar.
Pertengkaran kembali memanas, masing-masing berusaha membuktikan bahwa mereka lebih pantas mendapatkan hak asuh anak-anak.
Setelah berjam-jam bertengkar, keputusan pahit itu diambil. Hati kedua anak mereka hancur ketika Amato dan Mesya akhirnya sepakat untuk berpisah. Perpisahan yang menyisakan luka mendalam dan ketidakpastian.
YOU ARE READING
𝐖𝐡𝐢𝐥𝐞 𝐘𝐨𝐮 𝐖𝐞𝐫𝐞 𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦𝐢𝐧𝐠
Teen FictionBrothership & Angst Story Halilintar|Gempa|Gentar Langit mendung menjadi saksi perpisahan Halilintar yang mengalami perpisahan menyakitkan dengan adik kecilnya, Gentar. Setelah kematian mendadak orang tua mereka, Amato dan Mesya. Dalam keadaan duk...
