Episode 4

111 32 0
                                    

Besok paginya.

Watson mengerjap. Dia pikir dia orang pertama yang tiba di klub karena masih pukul tujuh kurang lima belas menit, ternyata sudah ada Hellen di dalam.

Sepertinya gadis itu sangat terganggu dengan kehadiran Sadia. Yah, Watson sebenarnya juga terusik sih. Mana mungkin Jeremy melakukan hal hina di umur yang belia. Pasti ada konspirasi di sini.

"Aku menelusuri biodata gadis itu lebih dalam sesuai arahanmu, Watson." Hellen berkata. Dahinya terlipat. "Terlalu sederhana. Tidak ada yang istimewa kecuali dia yang tinggal di Seoul. Tapi ini justru membuatku semakin yakin ada yang disembunyikan olehnya."

Pantas Watson merasa asing dengan wajah Sadia. Dia bukan orang Amerika.

"Coba sini kulihat."

Hellen menyerahkan tabletnya. Watson mulai membaca, mengernyit. Memang tidak ada apa-apa pada riwayat hidup Sadia kecuali tempat tanggal lahir. Bahkan nama sekolah pun tidak dicantumkan. Apa dia berasal dari panti asuhan dan tak sekolah?

"Apa kamu pernah mendengar pepatah 'segala hal yang dibuat sesederhana mungkin akan mendatangkan hasil yang tak pernah diduga'. Kamu pakai pepatah itu sebagai esensi di kasus ini," jawab Watson santai.

Hellen mengernyit tak paham. Si detektif muram itu hendak menyampaikan apa? Watson sepertinya lupa tak semua orang punya otak seencer dia. Bisa tidak sih bicara jangan menggunakan majas metafora.

Klek! Suara pintu terbuka.

Mereka berdua menoleh. Aiden melangkah masuk dengan muka murung, duduk di kursi tanpa hawa semangat. Watson dan Hellen bersitatap. Apa yang terjadi? Bukankah aneh melihat gadis hiperaktif sepertinya mendadak cosplay jadi Watson (muram).

"Kenapa, Ai?" Watson bertanya.

Telinga Aiden tegak. Ekspresinya cerah dalam hitungan detik. "Tidak apa-apa!"

"Eh, hei, baru beberapa detik lalu latar di belakangmu suram." Agak lain gadis satu ini. Aku sekali pun tidak bisa menilai kepribadiannya, lanjut Watson dalam hati.

Aiden cengengesan. Siapa yang tidak senang dipanggil lembut seperti itu?! Selama ini Watson selalu memanggil orang-orang memakai nama marga, namun karena marga Aiden susah diucapkan, Watson hanya memanggilnya 'Aiden' saja. Lalu tiba-tiba dipanggil 'Ai'. Ahh! Hatinya melambung tinggi!

"Kamu lagi lampu merah, ya?" Watson menebak. Biasanya kalau sedang begitu, para cewek jadi suka mood swing. "Kalau iya, kamu istirahat saja hari ini."

"Tidak kok tidak. Aku hanya..." Aiden berkedip centil, malu-malu. "Kekurangan energi saja. Ahh, aku butuh usapan."

Hehehe. Ayo sini usap kepalaku, Dan! Aiden melempar kode ke target.

'Usapan'? Maksudnya 'pijatan'? Apa dia selelah itu sampai memintaku untuk mengurutnya? Watson gagal menerima kode, malah mengartikannya ke hal lain.

Menghela napas pendek, Watson melangkah memutar ke belakang Aiden. Benar-benar memijat kepalanya. "Kalau tidak enak badan, kenapa memaksakan diri ke sekolah?"

Watson mengerjap bingung melihat tatapan Aiden berubah hampa. "Lho, kamu kenapa?"

"Tidak. Saya hanya ikan mati."

Kasihan Aiden. Demikian arti mimik Hellen. Andai dia bisa memberikan secuil kepekaan pada Watson yang payah soal perasaan. Dia cuma jago di bidang misteri.

"Jadi ada apa? Kenapa masygul begitu?"

"Yah, ini tentang perjalanan kita ke Korea. Aku mau pinjam pesawat, tapi Papa dan Mamaku sedang bepergian ke luar negeri memakai pesawatnya. Kita pergi naik apalagi coba? Helikopter? Itu akan lama!"

Petualangan WatsonWhere stories live. Discover now