☆18

241 35 13
                                    

Sekarang sudah pukul 12 malam, Hideki berdiri mematung di depan rumah Remi. Ia mendongak melihat jendela kamar Remi yang lampunya masih menyala, itu tandanya Remi belum tidur.

Hideki sesekali mengecek ponselnya, ia ingin memberitahu Remi kalau dirinya berada di luar. Namun ia ragu, karena pastinya Remi tidak akan keluar dan enggan berbicara dengannya.

Sementara suasana semakin sepi, angin dingin menusuk kulit. Ia memasukan kedua tangannya di saku jaket karena mulai merasakan kebas di telapak tangan. Hideki menunduk, memainkan kerikil dengan raut datarnya itu.

Cklek.

Otomatis Hideki mendongak, seketika jantungnya berdebar, ia mematung melihat Remi yang baru saja keluar gerbang sambil menenteng sekantung sampah. Begitu pula dengan Remi, cowok berpipi gembil itu sama syoknya menyadari keberadaan Hideki.

"Remi ... "

Remi lebih memilih melangkah menuju box sampah, berpura-pura kalau manusia bajingan di depannya ini tidak ada.

"Rem, gue mau ngomong." Hideki menarik tangan Remi, refleks Remi menghempaskan tangannya agar cengkeraman Hideki terlepas.

"Minggir, gue gak ada waktu berurusan sama bajingan kayak lo," kata Remi yang sukses membuat Hideki tertohok, matanya mengerjap beberapa kali mendengar Remi mengatakan hal seperti itu kepadanya.

"Rem, gue mohon. Dengerin gue, mau sampai kapan kita begini?"

Remi akhirnya diam, namun sorotnya enggan menatap Hideki.

"Yang mulai lo duluan."

"Iya, oke. Gue minta maaf."

Lantas Remi mendecih. "Mending gak usah minta maaf deh kalau lo sendiri gak tau kesalahan lo apa."

Hening sejenak, angin malam berhembus menusuk kulit masing-masing. Namun bagi Hideki, sikap Remi jauh lebih dingin.

"Rem, sejujurnya tujuan gue malam itu cuma deeptalk sama lu, gue beneran minta maaf karena melenceng dari tujuan, gue gak tau harus bilang apalagi, gue akuin gue nyesel atas kesalahan gue sendiri." Hideki mulai gelisah.

Remi memutar bola matanya malas, tangan kanannya senantiasa mengepal erat siap meninju rahang Hideki kapan saja.

"R-rem ... "

Suara Hideki bergetar.

"Jujur gue gak bisa liat lu begini, Rem, apa lu gak inget semua hal seru yang udah kita laluin? Gue kangen itu semua."

Ini pertama kalinya Remi mendengar kata rindu dari mulut Hideki untuknya.

"Tapi dengan mudahnya lu bersikap kayak gini, Rem. Apa hanya dengan satu kesalahan lu langsung cut off gue dari hidup lu?" lanjut Hideki.

Sialan.

Remi menggertakan giginya, ia mulai tersulut emosi. "Satu kesalahan lu bilang? Mikir anying, lu kalo ada di posisi gue gimana? Bayangin, sat!"

Hideki diam, ia menggigit bibir dalamnya sambil menatap Remi, tatapannya sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka yang ketara.

Sejujurnya dalam hati Hideki yang terdalam, kalau berada di posisi Remi jelas ia akan pasrah, asalkan itu Remi.

"Marah, 'kan?" ucap Remi, "itu yang gue rasain!"

Hideki terpaksa mengangguk, padahal ia ingin menjawab, 'orang gue suka kok.' tapi perkataan itu kembali ia telan bulat-bulat.

"Hideki Rakasura, gue tarik semua perkataan gue di malam itu. Gue gak akan pernah mau jadi bintang biar terus lo tatap, cuih!" Remi hendak melangkah, tapi Hideki kembali menahannya.

"Gue mohon, Rem. Harus dengan cara apalagi biar lu maafin gue?"

Mendengar Hideki terus memohon dengan suara gemetar, Remi sedikit merasa iba. Karena memohon itu bukan Hideki banget.

Hideki menghela napasnya yang terasa berat, ia sempat mendongak karena takut air matanya jatuh dan dilihat oleh Remi.

"Pukul gue, Rem." Hideki mencengkeram pergelangan tangan Remi. "Kalau itu bisa bikin lu maafin gue, gue rela di pukulin sama lu."

Remi speechless. Tapi, berhubung sudah dari lama ia ingin memukul Hideki, maka ia mulai mengepalkan tangannya lagi. Dengan sekali hantaman, Remi meninju rahang Hideki dengan telak. Hideki nyaris jatuh.

Bug!

Pukulan kedua membuat Hideki sempoyongan dan pada akhirnya terjatuh. Ia duduk di atas tanah, kedua sikut tangannya menahan di belakang, kepalanya sedikit mendongak melihat Remi yang berdiri menjulang di hadapan.

Lampu jalan menyorotnya dari atas, membuat Hideki sedikit mengangkat sudut bibirnya sebelum pukulan dari Remi kembali melayang menghantam pelipisnya.

Bug!

Pukulan ketiga dari Remi.

Bug!

Pukulan ke empat yang mendarat di mulut.

"Last," gumamnya yang terdengar oleh Hideki. Ia mengatur napasnya yang memburu, setelah berhasil mengumpulkan seluruh tenaga di satu kepalan tangan, lantas Remi meraih kerah baju Hideki hingga cowok tampan itu terangkat.

Remi bersiap untuk melayangkan satu tinjuan terakhir. Namun pergerakannya terhenti kala tak sengaja menatap mata Hideki. Tatapan sendu dan penuh air mata, sudut bibir yang sobek itu tersenyum begitu lembut.

Remi membeku, menggigit kencang bibir dalamnya. Kemudian ia lebih memilih kembali menjatuhkan Hideki, sedikit ia dorong hingga punggung cowok anak hukum itu membentur aspal.

Kini suasana kembali hening. Hanya terdengar suara ranting pohon yang mengisi kekosongan, angin malam bertiup menari menyapa anak rambutnya yang mulai panjang.

Hideki masih setia menatap Remi, di sisi lain Remi memalingkan wajah.

Detik kemudian, Hideki dibuat terkejut saat tiba-tiba Remi berlari tanpa mengatakan kalimat apapun. Ia berlari tanpa tujuan sambil merutuki dirinya sendiri.































"Sialan, Hideki!" pekiknya tertahan, napasnya tersengal-sengal. Namun ia tetap berlari sambil memukul kepalanya sendiri tanpa henti. "Maaf, maaf, maaf."

××

Hideki To Remi - MinsungWhere stories live. Discover now