☆ 2

406 53 4
                                    

Remi baru saja menggeser pagar besi rumah, detik kemudian indera penglihatannya menangkap sosok Hideki di seberang yang juga sedang menggeser pagar rumahnya.

"Ohayou, Deki-kun!"

Hideki menengok, ia menyampirkan tas di sebelah punggung dan mendecih. "Apa coba."

"Ohayooo minna-san!"

Hideki dan Remi menoleh secara bersamaan ke asal suara, rupanya Haru yang baru saja mengeluarkan motor keluar dari gerbang. Funfact, rumah Haru bersebelahan dengan Remi.

"Berisik!" Hideki ancang-ancang untuk melempar tas punggungnya kepada Haru. Di susul suara tawa Remi.

Haru buru-buru menutup gerbang dan menyalakan mesin motor. "Rem, ikut gue atau bang Deki?"

Remi melirik Hideki yang juga sedang menatapnya dengan alis terangkat satu. Kemudian Remi mengulas cengiran, "see you at kampus, Bang Deki!"

Melihat Remi berlari ke arah Haru membuat cowok gondrong itu terkikik geli, lalu ia menjulurkan lidah ke arah Hideki; mengejeknya.

















"Si Deki berangkat pake apaan?" tanya Haru di tengah perjalanan, ia memelankan motor membelah jalanan ibukota dengan hati-hati.

Langit pagi tampak lebih biru dan cerah, meski udaranya sedikit berpolusi dan tidak asri. Lantas Remi menjawab pertanyaan dari temannya itu, "motor, lah."

"Lah, motor dia di bengkel."

"Buset?!" Remi baru tau.

Sementara Haru mengangguk pelan di balik helm. "Katanya dia belum pernah naik angkutan umum, 'kan?"

Waduh, Remi jadi kepikiran.

Sesampainya di kampus, Remi buru-buru menelepon Hideki dengan raut gelisah di wajahnya, dia mondar-mandir menunggu jawaban dari Hideki.

"Halo?"

Suara Hideki di seberang telepon.

Remi langsung berhenti mondar-mandir dan bertanya, "Lo naik apaan?" menghantamnya dengan satu pertanyaan tanpa basa-basi.

"Bareng bang Chris, ikut mobilnya."

Helaan napas lega terdengar dari Remi. "Ya udah, hati-hati. Kalau gue sih udah sampe."

"Gak nanya."

Sambungan telepon terputus secara sepihak, rasanya Remi ingin memaki Hideki sampai mulutnya berbusa.

"Gimana katanya?" Haru yang sedari tadi memperhatikan cowok berpipi gembil itu hanya bersandar pada tembok.

"Bareng bang Chris."

Mendengar jawaban Remi, lantas Haru mengangguk, lalu melengos melangkahkan kakinya lebih dulu.

Remi menoleh, kemudian teriak, "Haru-kyun, tungguin watashi!" Bocah wibu itu berlari, menyamakan langkahnya dengan Haru yang kemudian cowok gondrong itu merangkulnya.

"Makanya buruan, wibu."

______________

Tuk!

Melihat sebuah makalah baru saja di simpan di atas meja, lantas Remi mendongak.

"Baska lagi nunggu, sekarang deadline-nya," ucap Chris membuat mata Remi berbinar saat itu juga.

"Bang, kok bisa? Siapa pelakunya?"

"Abang warkop."

Tiba-tiba Hideki datang untuk memukul kepala Remi menggunakan makalahnya, meski pukulan itu terkesan pelan. "Makanya sebelun panik gak jelas, mending tanyain dulu sama orang di situ!"

Mendapat pukulan di kepala, Remi hanya menunduk dalam. Merasa bersalah atas semua yang terjadi.

"Untung abang warkop yang nyimpen, katanya dia nunggu orang yang nyari makalah," lanjut Chris.

Tak!

"Aw!" terkena pukulan makalah lagi dari Hideki.

"Coba kalo lu nanya sejak awal!"

Chris yang melihat kelakuan Hideki hanya menggelengkan kepala.

"Buruan si Baska lagi nunggu, tolol," ucap Hideki, "lu yang ngilangin, lu juga yang ngembaliin."

Sedangkan Remi menggigit bibir dalamnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca, lalu melangkah pergi menuju Baska berada.

Selang beberapa menit setelah Remi pergi, Haru menghampiri Chris dan Hideki. "Tuh, si Remi nangis lagi."

"Kenapa lagi?" tanya Chris mulai jera.

Haru sempat melirik Hideki, kemudian kembali melanjutkan katanya, "dia ngasih makalah ke bang Baska sambil nangis, sih."

Plak!

"Damn," umpat Hideki sambil mengelus kepalanya yang terkena pukulan makalah oleh Chris.

"Gara-gara lu, Deki. Kalau ngomong filter dulu, jangan asal jeplak bilang tulal tolol sambil mukul kepala orang pake makalah Baska."

Chris mulai memarahi Hideki, pada akhirnya cowok tampan itu meminta maaf pada Chris.

"Minta maaf sama Remi, bukan ke gue."

"Iya, Bang."

Sementara di situasi lain, Baska menepuk-nepuk pundak Remi dengan lembut.

"Udah gapapa, Rem. Makalah gue kan udah balik, gue juga gak marah sama lu, Hideki mukul lu itu artinya dia cuma pengen lu ngerti, biar kalo ada yang titipin barang ke lu lagi, elu nya amanah."

Remi menarik ingusnya. "Gak usah di pukul juga gue ngerti, Bang. Mana abis itu dia ngatain gue tolol."

Baska menghela napasnya. "Minggu ini udah berapa kali nangis? Kalau Bunda tau, beliau pasti udah khawatir ngira lu di bully sama kita."

"Lah, kan emang."

Terdengar suara kekehan kecil dari Baska. "Abis ini lu mau ngadu Bunda kah?"

"Gak lah. Lagian gak mungkin gue jadi korban bully, yang ada gue pelakunya———"

Ctak!

"Aduh!" Remi mengaduh karena terkena sentilan di dahinya oleh Baska.

"Gak boleh begitu bocah! Gue kasih paham ye, pelaku bullying itu adalah orang paling anjing sedunia, paling sampah dari sampah itu sendiri. kalau lu sampe bully orang bakal kena pidana, Rem. Lu kena pasal 351 KUHP, ingat itu."

Remi meringis mendengar ucapan Baska. "Bang gue becanda."

"Mana nangis? Ni bocahnya fine-fine aja sama Baska."

Remi dan Baska menoleh ke asal suara, mendapati Chris, Hideki serta Haru yang baru saja datang. 

"Lah, tadi nangis. Yegak, Rem?" tanya Haru pada Remi yang saat ini planga-plongo.

"Apa coba?" Remi kebingungan.

"Mana ada Remi nangis, Remi gak se-cengeng itu," bela Baska kemudian.

Remi mengangguk setuju. "Betul, gue gak se-cengeng itu." Lalu merangkul Baska, mata Hideki auto melirik rangkulan tersebut.

Baska balas merangkul pinggang ramping Remi.

Mata Hideki beralih pada tangan Baska.

Di sisi lain, Haru menyadari tatapan Hideki yang kini tampak sibuk itu.













"Pisahin atuh pisahin," sindir Haru.

××

Hideki To Remi - MinsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang