10. Temen Laknat

1.1K 82 22
                                    

"Si goblok! Kok gak putus!"

Aku sontak membekap mulut ember Amel kaget. Bukan apa-apa, kalau lagi di kosan sih bodo amat. Masalahnya, kami sedang duduk depan fakultas, menunggu hujan reda sore itu. Mana lagi banyak orang. Dan otomatis mereka melihat kami berdua aneh.

Aku memutuskan untuk menceritakan semua kejadian di lembang pada Amel. Respon darinya benar-benar sudah terduga olehku. Dia terus menyumpahi aku dan Bian tanpa henti.

"Si Bian itu, dari dulu-dulu juga otaknya gak pernah pindah." Seru Amel emosi.

"Emang selama ini dimana?" Tanyaku iseng.

"Telapak kaki!"

"Bisa gitu ya." Aku meringis. Sudah biasa dengan emosi Amel yang cenderung meledak-ledak setiap membicarakan Bian. Entah Bian punya salah apa padanya. Aku tidak tau.

"Btw.. ngapain kita neduh disini? Lo bawa mobil Bian kan?" Amel bertanya bingung. Dia beranjak kemudian menarik tanganku.

"Engga Mel." Sahutku pelan, lalu menyuruhnya duduk kembali.

"Lah kenapa?"

"Belom terbiasa." Aku menjawab seadanya.

Aku memang belum terbiasa. Agak sedikit aneh saja rasanya. Walaupun Bian sempat memaksaku membawa mobil siang ini, aku menoklanya dengan berbagai alasan.

Mungkin..  karena aku sudah terbiasa hidup susah.

"Tadi ke kampus sama siapa? Gita gak ngampus."

"Di anterin Bian."

"Baleknya? Please, gue gak mau ngenterin lo. Ngirit bensin, belom dapet kiriman."

"Siapa juga yang minta di anterin." Aku mendengus kasar. Dasar Amel! Kalau sudah memasuki tanggal tua ya begini. Perhitungan minta ampun. Sampai remah-remah mie yang jatuh ke lantaipun bakalan dia pungut kembali.

"Gue bisa nganterin lo balek mut."

Satu sahutan rendah otomatis mengintrupsi aku dan Amel. Kami sontak menoleh bersamaan. Dan senyum ramah yang sudah sangat kukenal menyambut kami berdua.

Ah sial!

"Kak Bagas!" Amel memekik lumayan kencang hingga orang-orang disana meliriknya risih. "Dih udah lama banget gak keliatan. Sini gabung."

Kak Bagas mengangguk samar. Dia berjalan tenang kearah kami lantas mengambil tempat di sisi kiriku. Dia keliatan begitu santai, sangat berbeda dengan diriku yang mulai merasa tidak nyaman.

"Kemana aja? Gak ada kabar? Gak pernah keliatan di kampus? Gak pernah ngajakin nongkrong lagi?" Amel bertanya heboh. Sementara aku kian menunduk mendengar kak Bagas tergelak dan menjawab santai.

"Tanya mumut deh." Sahutnya melirikku.

Terkejut, aku menoleh sekilas padanya. Hanya beberapa detik. Lalu mengalihkan pandangan ketika kak Bagas tersenyum penuh arti.

Aku risih dan tidak nyaman. Si Amel sialan malah kegirangan sambil menyikut-nyikut lenganku menggoda.

"Ciyeee.. ada something yang gak gue tau yes." Amel bersorak ria. Ingin rasanya kutampol mulut jahanam itu.

Kak Bagas tersenyum simpul. Lagi-lagi dia melirikku, sebelum akhirnya menjawab enteng. "Ceritanya patah hati." Katanya. "Belum nembak, udah di tolak."

Amel tertawa girang sembari memukul-mukul bahuku, mulutnya terbuka akan menanggapi. Namun seseorang menyahut lebih dulu.

"Jelas di tolak, lo caper sama cewek yang udah punya pacar."

Aku tersentak kaget saat lenganku ditarik paksa hingga berdiri.

"Bi..." Aku mendesis cemas. Cengkraman tangan Bian kian menguat hingga menimbulkan ruam merah di sekitarnya.

Terkadang, tanpa sadar Bian bisa bersikap kasar jika ada pria lain yang berusaha mendekatiku.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya..

Tapi,

Aku sedikit takut kalau Bian lepas kendali seperti ini.

Untuk sesaat, ucapan Bian yang di sampaikan kak Rian saat itu kembali terngiang di kepalaku.

Gue takut, rasa sayang yang berlebihan ini bisa buat dia celaka.

**

Dari caranya mencengkram roda kemudi.

Menggertakkan rahang.

Lalu, laju mobil yang kian kencang..

Aku sangat mengerti,

Bian sedang menahan emosi.

"Bi, aku belum mau mati." Ujarku memecah keheningan.

Melihat tubuhku menegang dan mencengkram seatbelt erat, Bian mulai mengurangi laju mobil yang dia kendarai.

Bian mendesah kasar berusaha menahan diri, kemudian berkata lembut. "Maaf."

Sebelah tangannya yang bebas terulur meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Aku kesel bagas ngeliatin kamu." Sambung Bian. "Kamu tau, aku cuma berjarak selangkah dari dia, dan ku fikir aku bisa nyongkel matanya tadi."

Aku melotot tidak percaya dengan ucapan Bian. "Jangan aneh-aneh deh."

"Aku serius. Kamu milikku, gak ada yang boleh ngeliatin kamu kayak gitu."

"Seandainya kita putus sekarang, aku bukan punya kamu lagi dan orang-orang bebas ngeliatin aku dong hahaha."

Niatnya, aku mengatakan kalimat itu sebagai candaan untuk mencairkan suasana dalam mobil. Tetapi, ketika melihat Bian melirik tajam, aku.. benar-benar ketakutan.

"Kalau kamu gak bisa jadi milikku, mereka juga sama."

Bian menyeringai, melepas genggaman tangannya untuk mengusap rambut panjangku.

Sial!

Jantungku berdetak kencang. Entah karena gugup atau terancam. Yang jelas aku benci Bian dengan sifat posesifnya ini.

Menggigit bibir frustasi, aku berusaha tenang ketika Bian menggenggam tanganku kembali.

Lebih baik mengunci mulut rapat-rapat dari pada berdebat dengannya. Karena pada akhirnya aku tidak pernah menang melawan Bian kalau dia berada dalam mode posesif.

Aku mengalihkan pandangan keluar jendela. Rintik-rintik hujan mulai memenuhi kaca di sebelahku, membentuk titik-titik abstrak yang menenangkan.

Walau hujan mengguyur cukup lebat, hal itu tidak menghalangi puluhan kendaraan yang mulai menyesaki jalanan.

Sungguh melelahkan.

Perlahan mataku terpejam menikmati alunan musik yang mengalun lembut,

Kesadaranku mulai mengambang, hal terakhir yang dapat kuingat ialah ketika Bian menarik sebelah tanganku lalu mengecupnya lembut.

Dan akupun jatuh tertidur.

**

TBC

Next??

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Give My First Love To You || 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang