"B-boleh?" Dia takut menatap Vanya.

"Boleh, gak usah takut sama Mama," Ucapnya lalu menatap Vanya tidak lama namun dalam.

Gavin berdiri dan memesankan apa yang putrinya inginkan. Dia juga memesankan Vanya makanan tanpa sambal serta memesankan teh hangat mengetahui Vanya kedinginan walaupun sudah memakai hoodienya.

Vanya termenung ditempat. Panggilan Mama dari Gavin untuk membahasakannya kepada Elen terdengar sedikit aneh, juga geli. Dia lumayan merinding. Orang yang dulunya tidak suka padanya sekarang memanggilnya Mama untuk membahasakan diri pada sang anak.

Tak mau tiba-tiba meraung, Vanya menelungkup kan kepala di atas meja. Dia harus bisa mengontrol diri seperti apa yang ia pelajari saat terapi bersama dokter Meera seminggu kemarin.

Memang salahnya karena barusan membandingkan Gavin yang dulu dan sekarang sehingga membuat otaknya terbayang akan kejadian itu lagi. Sebisa mungkin Vanya ubah pemikirannya untuk memikirkan hal lain.

"Mama ke-kena-pa?" Tanya Elen cemas. Tidak ada jawaban dari Vanya.

"Ma..." Panggilnya.

Setelah memesan, Gavin kembali. Tiba dimeja yang diduduki dua berliannya, laki-laki itu mendadak sama cemasnya dengan Elen.

"Mama kenapa?" Tanya Gavin kepada putrinya. Putrinya pun menggeleng dengan mata seperti ingin menangis.

"Eh, jangan nangis. Gak apa, Mama cuma ngantuk," Gavin memutuskan menarik kursinya hingga dia duduk disudut meja. Tepat di antara Elen dan Vanya.

Setelah Elen tenang, Gavin beralih kepada Vanya. Bahu perempuan itu bergetar. Merasa semakin lama getarannya semakin kencang, Gavin membawa tubuh itu ke dalam dekapan.

"Kenapa, hm?" Tanyanya membiarkan Vanya menangis di dalam dekapannya.

"Mama, E-len e-eng-gak ja-jadi mi-num es. Ja-jang-an na-ngis," Ucap anak kecil itu dengan susah payah dan raut wajah polos.

Merasa pikirannya mengenai hal itu mulai memudar, Vanya lebih mendusel-duselkan kepala di dada Gavin. Siapa tahu dengan begitu ia bisa tenang seperti semula.

Kalau boleh meminta, Vanya ingin bertemu Gavin di versi ini, tanpa bertemu Gavin di versi lama. Mungkin dia akan menjadi perempuan paling bahagia kalau dikala itu mereka tidak bertemu.

Tangan Gavin yang merengkuh tubuh Vanya pun terangkat mengelus rambut belakang perempuan itu. Untung dengan begitu tangisan Vanya makin mereda.

"Permisi, susu hangat, es teh, teh hangat. Nasinya nasi kucing empat, sate telur dua, sate usus satu, tempe goreng empat. Ada yang kurang?" Tanya pelayan itu sembari menaruh pesanan ke atas meja.

"Sudah, terima kasih," Ucap Gavin, dengan sopan pun pelayan itu tersenyum.

"Sama-sama," Ucap si pelayan lalu pergi.

"Makan dulu, Len," Gavin memberikan sebungkus nasi kucing kepada Elen. Ia juga sengaja memesankan empat nasi kucing karena mungkin saja Vanya dan Elen lapar. "Nanti kalau kurang pesan lagi aja."

"Ma-mau Sa-sate tel-ur," Minta Elen. Gavin mengambilkan apa yang putrinya mau dengan Vanya masih berada dalam dekapannya.

"Maaf ya, Princess, Papa pakai tangan kiri," Begini-begini Gavin juga harus mengajarkan mana yang baik dan yang tidak baik kepada Elen.

"O-oke, Papa."

Tanpa di bantu, anak itu bisa membuka bungkusan nasi sendiri. Hal wajar tapi dulu waktu sekecil Elen, Gavin masih dibantu sama nanny.

Dia tahu hidup Elen belum sebahagia anak kecil pada umumnya. Maka dari itu, saat pertama kali Gavin bertemu Elen, dia selalu mempunyai tekat untuk terus membahagiakan putrinya entah sesulit apa.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα