7| The Violin

42 9 0
                                    

"TADAIMA!"

Naruto sekonyong-konyong langsung melompat, memeluk ibunya dari belakang begitu erat. Membuat wanita yang melahirkannya terlonjak dan hampir menumpahkan secangkir kopi di tangan.

"ASTAGA-TTEBANE!" Kushina, wanita yang Naruto sebut Kaa-chan—terkadang Ibu Ratu—menoleh ke belakang dan melihat cengiran jahil Naruto. "Kau ini! Ingin disiram kopi atau bagaimana!?"

Gemas, Kushina mencubit satu sisi pipi Naruto. Giginya bergemeletuk sebagai respon cubitan. Namun, toh, dia langsung mencium pipi anak laki-lakinya itu. "Kau selalu pulang dengan keringat!"

Naruto tertawa, balas mencium pipi Kushina beberapa kali. "Justru aneh jika selesai main futsal tidak berkeringat." Dia melepas pelukan, lalu memutar untuk duduk di sofa samping Kushina menikmati sore. "Tou-chan belum pulang?"

"Belum. Ayahmu masih saja menantang Kakashi bermain shogi." Gianna mendengkus geli, lalu menyeruput kopi yang hampir tumpah tadi. "Dan kenapa kau duduk, Naru-chan? Pergi mandi!"

Mendapat usiran dengan tangan mengipas, Naruto mendengkus. Dia memandang baju jersey yang tampak sudah basah oleh keringat, tetapi Naruto tidak mencium sesuatu yang apek atau lainnya. "Nanti saja. Lagipula, aku tidak bau."

"Hidungmu tidak akan peka. Sudah, sana! Bau!"

Kali ini, Kushina tega saja menendang kaki Naruto dengan sedikit keras. Mengabaikan rintihan anak laki-lakinya sambil memejamkan mata.

***

Naruto ingat sebelumnya belum pernah sepenasaran ini. Nyaris tidak ada beda seperti pertama kali melihat biola di pameran budaya ketika dia masih lima tahun. Dadanya seakan dipenuhi bunga—ah, tidak! Kupu-kupu. Ya, kupu-kupu. Seakan ribuan serangga itu masuk dan langsung memenuhi Naruto. Ada rasa menggelitik yang tidak dia benci, aneh memang, tetapi Naruto menyukainya. Sangat-sangat menyukainya.

Selesai mengeringkan rambut ala kadarnya dengan handuk, dia duduk di tepi ranjang dan membuka kunci ponsel. Jarinya bergulir ke beberapa aplikasi, salah satunya pesan email. Perlahan meski tidak terlalu memperhatikan, Naruto membaca semua pesan yang masuk; teman futsal yang riuh karena botol minumnya hilang, grup kelas yang meminta contekan tugas, anak-anak ekstrakurikuler yang kembali dibingungkan dengan gedung terbuka, dan akhirnya Naruto membuka grup terbarunya yang berisi anggota kelompok campuran.

Hinata.

Gadis itu membuatnya penasaran. Sedikit banyak, Naruto tahu dia anak terpintar di kelas dan sangat tidak bisa lepas dari buku. Semula, saat Naruto mengintip-intip Hinata, dia kira gadis itu kutu buku. Namun tidak. Hinata memiliki teman dan bersosialisasi meski tak seaktif Naruto. Mungkin benar, ketika seseorang mengira cukup kenal dengan yang lain, dia lupa ada beberapa yang lebih memilih menyingkir dari daftar kenal. Bukan karena tidak suka, tetapi memang tidak tahu.

Hinata seakan-akan memiliki dunia sendiri tanpa tahu ada Naruto di dalamnya. Sialnya, Naruto menganggap itu benar adanya. Gadis itu ... tidak mengenalnya.

Naruto terus mengamati daftar kontak kelompoknya hingga tanpa sadar ibu jarinya menekan tombol panggil di nomor pribadi Hinata.

"ASTAGA!" umpatnya, lalu segera menekan pembatalan panggilan dengan tergesa-gesa. "Astaga! Sial!"

Layar ponsel hingga berbunyi saking kencangnya Naruto tekan. Sangat mencerminkan kepanikan hingga tanpa tahu ada pesan masuk.

Hinata : "Ya? Maaf, ini siapa?"

Naruto mengira Hinata bergurau, tidak mungkin gadis itu membiarkan kontaknya tanpa nama—terlebih sebelumnya Naruto pernah mengirim pesan.

Naruto : "Tidak perlu pura-pura. Gomen, terpencet begitu saja."

Naruto mengembuskan napas panjang. Tiba-tiba saja dadanya bergemuruh bak dikagetkan hadiah uang kejut. Dia kembali memandangi layar, menanti Hinata yang mungkin saja akan membalas. Namun, sudah lima menit lebih Naruto diam seperti orang bodoh. Dia masih memandangi laman pesan pribadi yang tak kunjung berbalas. Akhirnya, dengan dengkusan kesal, Naruto melempar ponsel ke tengah ranjang dan beranjak mengambil biola dari dalam lemari.

Biola berwarna hitam legam yang ia peroleh dari seorang musisi di pameran budaya.

Sejenak, sebelum dia menggesek senar, Naruto kembali mengenang saat Kushina mendelik begitu si Naruto kecil merengek minta dibelikan biola yang sedang dimainkan. Namun, bukannya menerima uang, si pemain biola malah membubuhkan tandatangan di badan belakang alat musik itu dan diberikannya pada Naruto. Beliau tersenyum lebar penuh makna, lalu hanya mengangguk-angguk dan melambaikan tangan kepada orang tua Naruto. Wanita yang di kemudian hari barulah dia tahu saat mendalami permainan biola, seorang pemain biola yang sekarang masih Naruto kagumi.

Miyamoto Emiri.

Perlahan, tangan Naruto bergerak menggesek bow pada string biola. Dia memainkan Vivaldi's Spring bagian pertama.

Sama seperti saat Emiri memainkannya dahulu, kini Naruto kembali mengulangnya dengan mata terpejam dan menelusuri sanubarinya.

Konserto no. 1 E Mayor Op. 8. Spring.

Mungkin ... ini terlalu cepat, tetapi Naruto tidak bisa menampik sesuatu dalam diri Hinata menarik perhatiannya. Sesuatu yang amat spesial hingga tanpa sadar senyumnya tertarik sedemikian lebar hingga lesung pipi Naruto tercetak begitu jelas. Gadis itu memang baru ia kenal, bahkan Tirta baru tahu ada siswa bernama Hinata di sekolah setelah mereka bertabrakan—ralat, Naruto menabraknya. Sejenak Naruto bisa kembali mengingat wajah tidak suka gadis itu saat tahu siapa yang menabrak, tetapi dia bahkan tidak menghindar begitu Naruto hampiri di kelasnya tempo hari.

Jujur saja, pemberitahuan ruang pertemuan kelompok hanya maksud tersembunyi belaka. Naruto hanya ingin tahu bagaimana sikap Hinata saat mereka berdekatan. Tak bisa dipungkiri, Naruto harus terkejut begitu tahu delikan Hinata tertuju padanya. Seakan ada yang salah. Naruto nyaris tertawa kemarin.

Begitu sebuah ingatan kembali terngiang, lagu Spring sudah sampai di puncak. Semakin membumbungkan perasaan Naruto yang terpana. Naruto akan mencari waktu yang tepat untuk memergoki Hinata.

Dia harus cari cara agar Hinata bisa dekat dengannya. Benar, kan?

***

Hinata masih membuka catatan kecil di bukunya saat sebuah getar pesan masuk di ponsel. Tanpa memandang di mana ponsel itu, tangan dia bergerak meraihnya dan membuka pesan.

Sedetik kemudian Hinata mengernyit. Ada daftar panggilan tak terjawab "Uzumaki".

Apa lagi sekarang?

Menimbang-nimbang untuk membalas, akhirnya Hinata memilih berpura-pura tidak kenal. Namun, niatnya malah dipatahkan begitu Naruto membalas tidak sengaja memanggil.

Hinata menghitung angka satu hingga sepuluh dalam hati sambil menarik napas panjang. Dia butuh sekarang.

Apakah Naruto sengaja ingin mengerjainya? Apa ini balas dendam karena Hinata tak menggubris pesan lelaki itu yang ingin bertemu di gedung teater tempo hari? Jangan dikira Hinata bisa ditipu. Dia bahkan sudah bertanya pada anggota lain tentang pertemuan yang ternyata kebohongan belaka. Kali ini, remaja tersebut menghubunginya dan seolah bilang tidak sengaja.

Dia tidak sedang mencari orang untuk dirundung, 'kan? terkanya dalam hati. Eira kesal mengingat Naruto mulai mengganggunya belakangan ini. Apa maksud remaja itu minta bertemu di gedung teater?

Memang sengaja si Uzumaki! Hinata berbalik, lalu melempar ponsel ke arah ranjang agar tidak lagi melihat dan mendengar getarannya. Dia tak peduli! Hinata harus kembali fokus belajar dan belajar.

Malam itu, Hinata kembali disibukkan dengan rumus limit dan integral yang menguras otak. Dia bahkan tidak sadar jam dinding tepat menunjuk pukul dua dini hari.

BERSAMBUNG

SWAN LAKE | NaruhinaWhere stories live. Discover now