2 | Peek a Boo

31 7 0
                                    

"Jadi, kau les tambahan?"

Pertanyaan Sakura yang terdengar seperti pernyataan itu membuat Hinata merebahkan kepala di meja. Dia mengangguk sedih sambil memejamkan mata.

"Astaga! Aku tidak tahu harus sedih atau tertawa. Demi apapun, ceritamu lucu, servis ban, terlambat, ditabrak, dapat hukuman juga. Seperti terjatuh lima kali."

"Diam. Kau membuatku kesal!" gerutu Eira kemudian. Dia cemberut, memandang buku paket matematika dengan sendu.

Hinata memang berhasil melawan keinginan untuk kabur tadi. Dia benar-benar membuat panggilan video dan mendengar suara Hiraki yang bertanya keperluannya. Maklumlah, ibu Hinata bekerja di pabrik, jadi tidak bisa dihubungi lama-lama.

"Okaa-san ...," lirih Hinata tadi, "A ... aku, terlambat." Gadis itu tahu suaranya semakin lirih.

Namun, tentu saja suaranya terdengar jelas oleh Hiraki. Dan benar, raut wajah Hiraki berubah menjadi datar dan--Hinata yakin--menahan amarah. Beliau tampak menarik napas panjang sebelum berucap, "Kita bahas di rumah setelah kau les tambahan dua materi."

Hinata menghela napas. Nah, dua mapel. DUA.

Hinata ingin berteriak rasanya, tetapi hanya bisa diam dan memandang keki Iruka-sensei yang tampak puas. Beliau langsung memberikan surat izin berukuran 10×10 untuk bisa masuk ke pembelajaran kelas, sebelum pergi sambil memainkan ponsel.

"Sudahlah, nanti kau izin saja sewaktu pelajaran olahraga. Agar lesnya tidak terlalu lama." Sakura tersenyum bangga dengan idenya dan menepuk-nepuk pundak Hinata.

Setengah kesal dan geli, Hinata hanya diam memandangi wajah temannya tampak tak mempermasalahkan terlalu rumit apa pun yang terjadi. Terkadang dia ingin begitu, tetapi Hinata sadar hidupnya akan sedikit sulit jika benar meniru perilaku Sakura. Sudah cukup tambahan les, Hinata tak ingin begadang atau menginap di ruangan les yang hanya diisi lima belas anak setiap pertemuannya.

"Terima kasih banyak sarannya. Sangat membantu," sahut Hinata keki.

Gadis itu akhirnya diam setelah Sakura tampak tak melanjutkan percakapan. Sakura langsung beranjak pamit ke kantin dan menggandeng Sasuke yang menjemput di depan kelas. Meninggalkan Hinata yang bertopang dagu memandangi Sakura keluar.

Hinata mengalihkan tatapan ke arah luar jendela. Dia tidak benar-benar menikmati awan putih yang perlahan bergerak tertiup angin, tetapi merenungkan kembali kejadian pagi tadi. Hinata ingin sekali mengeluh atau protes dengan sikap ibunya yang sedikit berlebihan. Hukuman tambahan jam les benar-benar bukan kesukaan Hinata, meski Hiraki berkata itu sangat diperlukan untuk melatih disiplin.

Seharusnya hari ini Hinata tidak menuruti hati yang ingin menikmati pepohonan, tentu kejadian ban bocor dan terlambat bisa dihindari. Dia pun tidak perlu kehilangan uang untuk membayar jasa tambal ban. Seharusnya hari ini, jika Hinata tak dihukum, dia bisa menyelinap ke ruang teater dan menekan tuts piano seperti minggu lalu.

Oh, iya! batinnya berseru. Hinata tersentak di bangkunya, melepas topangan dagu karena terlintas satu ide.

Hinata tak memiliki jadwal les hari ini. Jadi, jika benar dia mendapat les tambahan, artinya Hinata hanya harus datang di jam tambahan. Bukan les utama! Dia bisa menyelinap ke ruang teater! Hinata mendesis girang, langsung merogoh ponsel di saku rok dan mencari nomor guru les yang memang akrab dengannya.

Hinata : "Shizune-Nee, nanti aku ada jam tambahan."

Shizune : "Iya, baru saja ibumu menghubungiku. Astaga, materimu ditambah dua :v"

Hinata tersenyum lebar. Dia hendak membalas sebelum sebuah pesan kembali muncul di layar.

Shizune : "Bagaimana bisa telat (≧▽≦). Nanti cerita ya!"

Sedikit mendengkus geli, Hinata menahan diri untuk tertawa. Guru lesnya benar-benar bisa menjadi teman.

***

"Hinata, tunggu aku!" Sakura tersandung, hampir jatuh. Dia kembali berlari sambil tertawa melihat Hinata yang sudah ngeri sendiri karena dirinya hampir tersungkur, lalu mereka berjalan beriringan. "Mentang-mentang kau sudah selesai voli, langsung pergi."

"Panas." Hinata kira sudah mengikat rambut setinggi mungkin, tetapi tetap saja keringat bermunculan. Dia berdecak sebal karena Sakura tiba-tiba merangkul pundaknya. "Jangan merangkulku! Cuaca sudah panas, jangan ditambah lagi!"

Sakura tertawa kecil, mengejar Hinata yang kabur dan langsung mengambil tas di kelas. Dia menghampiri temannya yang sudah menggendong ransel hitamnya. "Betulan les?"

Hinata mengerjap, linglung menanggapi pertanyaan Sakura. Temannya tidak boleh tahu dengan kebiasaan Hinata yang suka menyelinap ke ruang teater. Bisa-bisa satu sekolah jadi tahu dan dia menghadapi masalah besar. "Euhm ... iya, jadi. Kau ... tidak langsung pulang?"

"Pulang! Tidak ada yang bisa diajak main! Lagipula aku tidak ada jadwal les."

Hinata tertawa kikuk, lalu diam melihat Sakura yang langsung keluar kelas setelah menggendong tas.

"Duluan!"

"Oh, oke."

Hinata memastikan sekitar. Kelasnya sudah kosong karena jam olahraga memang jam terakhir, dan sebagian anak langsung membawa tas begitu guru mengumumkan materi voli dilaksanakan di lapangan. Mereka sudah pulang lebih dahulu.

Sekarang saatnya.

Sedikit berjinjit dan berlari cepat, Hinata menyeberangi lapangan utama, lalu melintasi beberapa kelas untuk sampai di area ruang-ruang ekstrakurikuler. Hari ini—hari Selasa—ruang teater, seni rupa, dan tari akan kosong karena takada kegiatan.

Hati Hinata berbunga begitu tahu tiga ruangan itu benar-benar sepi tanpa ada siswa. Dia berjalan pelan sambil melirik sekitarnya, memastikan takada yang melihat tingkah nakal Hinata.

Gadis itu membuka gembok dengan jepit rambut kecil, berhati-hati untuk tidak mengeluarkan suara dan berusaha membukanya. Dia tersenyum tertahan begitu usahanya berhasil, lalu membuka pintu sesuai ukuran tubuh dan menyelinap masuk.

Ruangan teater tampak sedikit gelap, hanya ada cahaya dari fentilasi dan celah-celah gorden. Sejenak Hinata memandang sekeliling seperti nostalgia karena sudah lama tidak masuk ke ruangan ini—padahal tiap dua kali dalam seminggu Hinata selalu berusaha menyempatkan diri ke sini, hanya bersikap sedikit hiperbola.

Senyuman Hinata yang melebar berubah menjadi cengiran saat melihat benda dengan ukuran besar dan kursi kecil ada di samping panggung. Dia langsung melepas tas sekolah, berlari menghampiri piano klasik yang seakan-akan melambai padanya.

BERSAMBUNG

SWAN LAKE | NaruhinaWhere stories live. Discover now