3| Unpredictible

41 9 0
                                    

Hinata kira setelah mengambil les tambahan, Hikari akan memberi sedikit keringanan. Sayangnya tidak. Baru saja Hinata selesai memasukkan sepeda ke garasi rumah, dia langsung disambut dengan tatapan tajam Hikari yang bbersedekap di depan pintu rumah. Membuat gadis itu seketika terdiam dan memilih menunduk.

"Bagaimana mungkin kau terlambat? Tadi pagi saja berangkat tepat waktu."

Hinata tak ingin menanggapinya, sebab dia tahu sia-sia-disamping memang kesalahannya sendiri.

"Kenapa tidak jawab?" Hikari masih bertanya dengan nada tegas dan terdengar kesal. "Masuk!"

Ibunya mendahului, luput melihat wajah lesu dan sedih Hinata. Wanita berusia 45 tahun itu langsung duduk di sofa ruang tamu, hanya memandang datar Hinata yang masih menunduk dan duduk di depannya.

"Katakan! Bagaimana bisa kau terlambat?" Lagi, pertanyaan Hikari terulang. Agaknya kepala wanita itu sudah pusing sejak Hinata bilang terlambat sekolah.

Hikari menahan amarah di tempat kerja, takingin membuat rekan kerja merasa tak nyaman. Dan sekarang putrinya hanya diam tanpa menjawab. "Kaa-san sedang bertanya, Hinata!"

Mendengar nada membentak, Hinata tersentak kecil. Bibirnya gemetar meski tahu alasannya bukan sesuatu yang disengaja. "Ba ... ban sepedaku ...," jedanya meneguk liur, "Bocor."

Hikari mendengkus. Alasan klasik, batinnya. "Dan bagaimana bisa bocor? Kaa-san tahu itu masih baru, belum ada satu bulan ganti ban dalam."

Mata Hinata memanas, benar-benar tidak bisa mengerti mengapa ibunya sangat mempermasalahkan setiap kejadian. Keterlambatan ini hanya satu kali, pun Hinata tak berminat untuk melakukannya lagi sebab tahu konsekuensi buruk yang akan dihadapi. Sungguh, gadis itu baru berumur enam belas dan masih mencari identitas. Dia mungkin tahan jika harus memenuhi ambisi menjadi dokter, tetapi tidak dengan hukuman yang akan didapatnya setiap melakukan kesalahan.

Ada saatnya ... Hinata merasa ingin dimengerti dan dimaklumi. Namun sepertinya dia tak yakin Hikari akan melakukannya.

Gadis itu meremas rok, menunduk dalam diam sebelum berusaha mengeluarkan suara. "A ... aku tidak tahu ada perbaikan ja ... jalan. Lalu ... terinjak paku."

"Kau bisa lewat jalan lain, kenapa nekat lewat sana!" Hikari membentak, nyalang memandang Hinata yang gemetar takkentara. Dia memegang kepalanya yang berdenyut hebat, lalu mengambil napas panjang untuk sekadar mengingat Hinata yang menurutnya mengulur waktu hingga terlambat.

"Hinata janji -"

"Kaa-san tidak butuh janji! Kaa-san butuh kau belajar dan disiplin!" Tanpa mau mendengar, Hikari menyela, kembali melayangkan bentakan. "Kaa-san sudah keluar banyak uang untukmu belajar dan memberi fasilitas. Setidaknya hargai! Belajar yang rajin! Jangan terlambat! Cobalah kau disiplin!"

Pertahanan Hinata runtuh. Satu tetes air mata berhasil jatuh. Napasnya tersendat karena isakan lirih. Masih dengan mencengkeram rok, dia berujar pedih, "Maaf, Kaa-san. Aku minta maaf."

"Maaf? Kau kira maaf bisa menghilangkan poin pelanggaranmu? Bagaimana kau bisa menghapusnya? Itu pasti akan tercetak di rapormu nanti!" Hikari menghela napas. "Kaa-san tidak mau tahu! Besok, setiap jam les, kau akan diberi tambahan. Kaa-san akan bilang pada Shizune nanti."

Hinata tergugu. Dia mengusap pipinya yang basah dan mendongak memandang Hikari yang sudah bangkit dan masuk kamar. Meninggalkan Hinata di ruang tamu tanpa berucap simpati atau menghiburnya agar tak sedih karena terlambat sekolah. Sorot mata HInata menjadi sendu, lalu masuk kamar dengan bibir gemetar. Malam ini mungkin Hinata harus membenamkan wajahnya ke air atau bantal agar tangisnya tak didengar.

SWAN LAKE | NaruhinaМесто, где живут истории. Откройте их для себя