6| Unlocked One Stone

21 9 0
                                    

"Kita sudahi dulu saja, Hinata. Lagipula, apa kau tidak akan pulang?" Shizune bertanya sembari melirik jam tangan. Pukul sepuluh, dan dia tahu jarak tempat bimbingan ke rumah Hinata tidak dekat. "Laporannya serahkan padaku. Kau pulanglah!"

Hinata yang sibuk menulis rangkuman materi terhenti dan memandang Shizune. Dia mengangguk setuju. "Baiklah, Onee-san."

Shizune hanya tersenyum simpul. Dia membenahi beberapa buku paket yang berceceran di depan meja Hinata, lalu menatanya ke rak buku dekat papan tulis. Gadis berusia 28 tahun itu kembali diam dan duduk santai sambil bertopang dagu memandangi Hinata yang sibuk membereskan buku.

Bimbingan tambahan yang dituturkan Hiraki ternyata bukan ancaman belaka. Wanita itu benar-benar membayar sejumlah uang untuk les tambahan khusus pada Shizune minggu lalu. Hal yang sebenarnya tidak perlu bagi Hinata, sebab Shizune pikir gadis itu sudah pintar.

"Terkadang aku berpikir; ibumu terlalu keras menginginkanmu belajar," celetuk Shizune. Dia mencebik pelan, berangan jika dirinya yang di posisi Hinata mungkin sudah sangat tertekan. Tidak bebas bersosialisasi dan terus dipaksa disiplin dengan hukuman belajar tambahan.

Hinata hanya mendengkus dan tersenyum tipis. Dia memandangi buku paketnya sambil membayangkan wajah Hiraki yang tampak tegas. "Aku pun berpikir seperti itu ... tapi kuharap masih bisa terus berpikir positif; Ibu melakukannya untuk masa depanku. Lalu, aku tidak memiliki keluarga selain ibu. Jadi, kurasa ... tidak ada alasan untuk kecewa atau membenci."

Shizune menghela napas panjang. Ya, benar. Tidak ada alasan untuk itu, sebab Hinata terlalu baik. "Tentu saja kau bisa memilih untuk membenci. Itu pilihanmu. Semua ada di tanganmu, Hinata."

Hinata memandang Shizune dengan sejuta makna. Ada sesuatu yang mendorong pergi, tetapi enggan untuk meninggalkan karena taktahu arah. Ada keinginan melampiaskan, tetapi tidak bisa mengabaikan kesedihan yang mungkin ditimbulkan. Saat memilih bertahan, setiap berjalan akan ada jalan buntu dan memilih berbalik ke tempat awal. Membiarkan hati terperangkap dalam bimbang pekat dan tak bisa melarikan diri.

Entah kenapa, air mata merongrong keluar dan menumpuk di pelupuk mata. Hinata menahan sebisa mungkin agar tak menjadi tangisan yang kemungkinan menumbuhkan keinginan-keinginan buruknya. "Kuharap tidak akan mengambil pilihan membenci itu, karena aku lebih tahu. Membenci akan membuat kita sendirian."

Seperti Beethoven yang begitu sarkas hingga tidak mau mengakui bahwa dia kesepian. Semenjak kecil dididik hanya untuk menyaingi Mozart yang sudah jenius sejak enam tahun, Beethoven hanya diam saja begitu ayahnya mengajarkan banyak hal tentang musik dengan didikan keras.

Hinata terpaku. Dia ... tidak sedang menyamakan Hiraki dengan ayah Beethoven, bukan? Benar, kan? Hinata tidak menganggap Hiraki keras seperti ayah Beethoven. Dia tidak boleh menganggapnya demikian. Tidak, jangan! batinnya tegas.

Shizune menggigit bibir dalam, mencoba ikut menahan rasa sesak karena paham dengan perasaan Hinata. "Lalu ... jika memang kau memilih untuk diam, apa mimpimu bermain piano akan terjadi?"

Hinata tak mengatakan apa pun. Merenungkan pertanyaan Shizune dengan hati remang. Dia tahu dan sadar, Hiraki tidak mengetahui minatnya dengan piano. Sejauh ini, Hinata hanya bisa diam-diam mendengarkan gubahan Beethoven melalui ponsel, curi-curi waktu memasuki gedung teater, dan sembunyi-sembunyi mempelajari buku partitur.

"Apa ibumu akan membiarkanmu mengejar mimpi meski beliau menuntut ambisi?" Lagi, Shizune bertanya.

"Aku ... hanya tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan Ibu kalau tahu," jeda Hinata, "Aku ... aku tidak tahu."

Hingga Hinata mengayuh sepeda di tepi jalanan yang penuh cahaya lampu dari bangunan dan kendaraan, benaknya terus merenungkan percakapannya dengan Shizune.

SWAN LAKE | NaruhinaWhere stories live. Discover now