"Hiks, hiks, hiks," Elen berlari keluar rumah. Kini ia berada di kolam renang samping. "Ma-ma, ma-marah-ma-rah la-gi."

Dia menangis, jiwa Elen itu bukan jiwa-jiwa yang bisa dibentak. Walaupun bukan dia yang dibentak tapi kan kaget. Apalagi itu Mamanya, Elen tahu kondisi Vanya tidak sebaik dulu. Banyak orang bilang Mamanya sedang sakit. Makannya pada kondisi itu Elen lebih memilih untuk pergi.

Duduk bersila ditepi kolam membuat hati Elen sedikit lebih tenang. Tidak ada siapapun disisinya. Anak kecil itu berusaha menenangkan diri sendiri.

"Hiks, Papa ke-kemana y-ya. K-ka-lau a-ada Papa pas-ti Mama la-lang-sung di-peluk," Ucap Elen masih terisak.

Sedangkan di dalam rumah, Adara masih mencari keberadaan Elen. Acel? Biarlah dia kemana, rumah ini luas bisa aja dari lantai satu dia nyasar ke lantai tiga, itupun sama sekali tidak Adara pedulikan.

"Nyonya," Clara yang sedang meminum teh hangat di kursi depan rumah mendongak, menatap seorang art yang baru saja memanggilnya.

"Kenapa, Bi?" Tanyanya ramah.

"T-tadi non Elen lari sambil nangis ke kolam renang. Saya dan yang lain nggak berani nenangin nona karena dia sepertinya takut dengan kami."

"Elen nangis? Vanya dimana?"

"Kurang tahu, Nyonya. Non Acel sama Non Adara juga nggak kelihatan."

Clara menghembuskan nafas sabar. Pasti ada apa-apa di kamar Vanya. Sudahlah, dia akan menghampiri Elen terlebih dulu. Serem kalau tiba-tiba anak sekecil itu jatuh ke kolam renang yang dalamnya 3 meter.

Sampai di kolam renang samping rumah, Clara berhenti sejenak di ambang pintu. Dia menatap Elen dari belakang. Anak kecil itu bertarung sendiri dengan kondisi keluarganya yang rusak.

Karenanya juga keluaraga anak kecil itu rusak.

Pelan-pelan Clara berjalan mendekatinya. Setelah itu dia berjongkok secara anggun dibelakang Elen, "Elen?"

"Hiks, hiks," Tidak ada jawaban, namun isakan anak itu terdengar menyakitkan.

"Kenapa nangis?" Tanya Clara kaku mengelus punggung Elen.

"Ma-mau Papa. A-aku ma-mau sa-ma Papa a-aja," Ucapnya sesenggukan.

Tak kuat mendengar kata-kata yang terbata dari anak itu, Clara membawa Elen ke dalam gendongan. Ini kali pertama dia mengeluarkan kasih sayang kepada cucunya.

"Sayang..." Ucap Clara di samping telinga Elen. Kini Elen menaruh kepala dipundak Clara. "Kangen sama Papa ya?"

Elen mengangguk kecil, benar bukan pemikiran Clara tadi? Anak kecil ini diam-diam menyimpan luka dalam. Dia harusnya diberi semburan kasih sayang oleh kedua orang tua serta keluarganya. Tapi keadaan memaksa Elen untuk bertarung seorang diri.

"Papa lagi kerja. Main sama Oma dulu mau?" Tawar Clara lembut.

Menerima keadaan Elen yang berkebutuhan khusus ini ternyata tidak seburuk itu. Clara pikir, Elen akan benar-benar merusak image di depan semua teman sosialitanya. Namun ia rasa ledekan dikalangan sosialita itu wajar, mereka pasti menuntut semua untuk sempurna.

"O-oma?" Ulang Elen mengangkat kepala menatap Clara tanpa rasa takut sedikit pun. Karena menangis terlalu lama, Elen masih sesenggukan.

Clara mengangguk, "Mulai sekarang panggil aku, Oma, oke?"

"A-apa itu O-ma?"

"Oma itu Nenek. Kalau Elen punya Oma, berarti Elen juga punya Opa," Sambil menjelaskan, Clara berjalan menuju Ayunan yang letaknya tak jauh dari mereka berdiri.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now