[2]. Hatala

298 34 16
                                    

"Mamamu mau jodohin kamu?"

Ayu diam, tidak tahu mesti jawab apa.

Sementara Fida ... terlihat menarik napas panjang lalu diembuskan lewat mulut. "Ibu nggak tahu, apa yang bikin mamamu sebenci itu sama Gusti. Tapi, Yu, Ibu harap kamu tidak terkecoh dengan permintaan mamamu itu."

"Bu," Ayu gapai telapak tangan ibu mertuanya untuk digenggam. Tatapan matanya terarah lurus pada netra bening di depannya. Ia sematkan seulas senyum ketika berujar, "meski kami dijodohkan dan jujur, awalnya aku juga nggak begitu berharap lebih pada Mas Gusti. Even, kalau pernikahan ini nggak bertahan lama pun, aku nggak akan mengemis-ngemis ke dia. Apalagi Ibu tahu sendiri, saat itu Mas Gusti masih terus mikirin Mbak Celine. Tapi setelah aku hamil Kavindra, akhirnya kami sepakat untuk saling terbuka dan belajar menerima satu sama lain. Memang butuh waktu, tapi ... see? Kami berhasil melewatinya. Dan ada satu komitmen yang sudah kita sepakati bersama sejak Kavindra lahir; selama tidak ada perselingkuhan dan kekerasan, kami tidak akan berpisah."

Gurat sedih yang semula terpancar di wajah Fida, perlahan-lahan dihapus oleh senyum lega. Ditariknya Ayu mendekat, dia dekap dari sisi. "Terima kasih, Yu."

"Ibu nggak perlu berterima kasih ke aku. Karena aku percaya, semua yang terjadi adalah bagian dari skenario-Nya." Begitu mengatakan itu, Ayu merasakan tamparan kecil di pipi. Segera ia turunkan pandangan, ternyata si bungsu sedang meminta perhatian. "Kenapa, Adek? Kok, pukul Ibu?"

"Nyanyanya."

"Dicuekin Oma sama Ibu ya?" Fida terkekeh, "Sini, gendong Oma!" Diambilnya Kiara dari gendongan Ayu, ia kecup pipi tembam si bayi dengan gemas. "Opa nanyain Adek, Abang, sama Kak Kalila mulu. Doain, semoga Opa lekas pulih ya?"

"Bapak di rumah sendiri, Bu?" tanya Ayu, keduanya beriringan menuju kamar Kalila.

Fida menggeleng. "Ada Gina."

"Oalah." Ayu manggut-manggut, "Biasanya jam segini nyamperin Kalila."

"Lagi galau dia," beber Fida.

"Soal pacarnya itu ya, Bu?" tebak Ayu, tepat sasaran. Terbukti dari anggukkan Fida. Ayu menggersah. "Mungkin belum jodohnya, Bu. Lagian, masa depan Gina masih panjang." Fida mengangguk lagi—sependapat. "Semalem juga dinasihati Mas Gusti, supaya nggak terlalu mikirin Yogas."

"Ibuuuu!" Suara Kalila, menarik seluruh perhatian. Si bocah berlari mendekat lalu berhenti di hadapan Ayu. Dia rentangkan kedua tangan ke atas—minta gendong. "Mau tagih janji Ibu." Ayu dengan sigap mengangkut tubuh mungilnya ke gendongan. Otomatis si bungsu yang cemburu langsung ribut minta gendong juga. "Kiara, kamu harus mengerti perasaan Kakak! Jangan kamu terus doooong! Kan Ibu Ayu ibunya Kakak juga sama Abang! Hih!"

"Nyanyanya." Kiara bergumam tidak jelas sembari menggapai-gapai lengan Ayu.

"Kiara sama Oma dulu ya?" bujuk Fida.

Kiara mana peduli. Tangan gembulnya terus menggapai-gapai lengan Ayu.

Diperebutkan oleh kedua anaknya, Ayu cuma bisa hela napas. Lalu sambil setengah mendengkus, dia sulihkan fokus ke arah Kalila. "Kalila turun bentar ya? Nanti kalau udah sampai kamar, Ibu pangku Kalila kayak biasa, biar Adek main sama Oma, oke?"

"Tidak oke, Ibu," balas Kalila santai, kemudian berpaling menatap Kiara. "Kakak sama Ibu, Kiara nggak diajak. Wleeee!!" Seakan mengerti apa maksud dari ucapan sang kakak—ditambah ekspresi tengil Kalila, sontak tangis Kiara makin kencang.

"Ibu teleponin Ayah kalau Kalila jailin Adek mulu," ancam Ayu.

"Ibu, Kalila mau dengar suara Ayah. Mana teleponnya?" pinta Kalila.

Get out of HandΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα