Orang itu pesan makan, "Bu, saya pesan satu porsi. Pakai telur balado dan sayur tahu. Oh ya, bakwannya dua. Sama minumnya es teh manis. Terima kasih, Bu."

Rayyan menoleh ke samping, diam, mangap.

Pak Wis menatap Rayyan yang mulutnya terbuka komikal, mendengus melihat nasi belepotan di sudut bibirnya.

Rayyan menelan keras. "Pak Wis?"

"Pagi, Mas Rayyan," sapa Pak Wis dengan senyum. Pak Wis kelihatan lebih ganteng dari biasanya. Hari ini bergaya casual sporty dengan kemeja flanel kotak-kotak, celana jeans, jam tangan hitam besar.

"Pagi, Pak. Kok, Bapak makan di sini?"

"Pengin makan juga di warteg, udah lama. Saya ganggu Mas Rayyan?"

"Enggak, Pak. Saya seneng. He he."

Rayyan diam sebentar. Salah tidak kalau dia terlalu jujur? Dia berdeham.

"Seneng saya jadi ada temen sarapan, nih," tambah Rayyan, "Oh ya, saya udah bisa main gitarnya."

"Oh? Cepet banget! Jadi enggak sabar pengin denger."

"Malam ini boleh, deh."

"Asyik," ucap Pak Wis, entah asyik karena makanannya baru saja diantarkan ke meja atau asyik karena menanti Rayyan main gitar. Pak Wis mengucap terima kasih pada pemilik warteg dan menikmati sarapannya sambil senyum.

Rayyan melirik penasaran, "Memangnya Pak Wis enggak malmingan? Sama ... Pak Arian."

Pak Wis mendadak tersedak minum es teh. Setelah menjernihkan tenggorokannya, ia menjawab, "Kenapa malmingan sama Arian?"

"Maaf," Rayyan menelan nasi dan terkekeh. "Saya enggak tau kegiatan Bapak kalau malam minggu."

"Hmm." Pak Wis mencelupkan bakwan ke kuah, suara kriuknya terdengar saat digigit. "Ya, palingan makan di luar sendiri, main atau sarapan ditemani Pom, atau nonton."

"Pom?"

"Anak saya." Pak Wis meneguk es tehnya lagi. Bunyi es batunya renyah. "Kapan-kapan saya kenalin, deh, kalau Mas Rayyan-nya enggak takut."

Mata Rayyan membola. "Wait—Pak Wis udah punya anak?"

Pak Wis menggangguk. "Udah."

"Ibunya?"

"Ah ... sayangnya ibunya enggak ada. Pom baru kehilangan calon ibunya, tuh." Pak Wis mendengus, mengeluarkan ponselnya dari kantong celana. Memindai galeri HP, ia memperlihatkan foto anaknya. "Ini Pom."

Pom itu seekor kucing. Di foto itu ia sedang telentang memperlihatkan perutnya, minta digelitik gemas.

Nyengir, Rayyan sudah menduga yang dimaksud anak adalah kucing. Terlalu menggemaskan. Shouki Wisanggeni tak pernah berubah. Rayyan hanya suka pura-pura terkejut saja. "Oke. Saya pikir anak betulan."

"Pom juga anak betulan tau. Harus diurus makannya, minumnya, vaksin tiap tahun, dibeliin mainan ... ya, gitu." Pak Wis menggembungkan pipinya sedikit, kurang dari nol koma sepersekian detik, tetapi sudah berhasil membuat dada Rayyan berdebar. Atau jangan-jangan cuma halusinasi.

"Kalau anak yang lucu begini, sih... saya juga mau. Apa saya boleh jadi bapak keduanya?"

Pak Wis diam. "Hah?"

"Ah, um." Rayyan memutar mata.

Pak Wis tak mau kepedean. "Oh, maksudnya Mas Rayyan juga mau adopsi kucing?"

"Iya!" seru Rayyan.

"Boleh boleh, nanti saya kenalin sama yang lagi open adopt, ya."

"Boleh, terus saya kena marah Pak Arian karena pelihara hewan di kantor."

Tampan Berdasi (MxM)Kde žijí příběhy. Začni objevovat