Bab 32| Akankah Dia Bahagia?

84 11 2
                                    

Bukan dunia yang membuat segalanya terlihat menyakitkan, tetapi pikirannya.
Tubuhnya terkurung dalam kegelapan, membuatnya lumpuh, dan tidak dapat bergerak.
Sampai akhirnya ia berusaha, belajar, mengingat di mana kunci yang ia letak, mengambilnya dengan tertatih dan keluar.

Ya, menuju pintu yang sudah jelas sedikit terbuka di ujung sana.

Titik Koma; Sketsa

...

"Ada apa, Gama? Tidak seperti biasanya kamu melihat seperti itu ke Mama."

Gama yang sedari tadi duduk di kursi makan sembari memperhatikan Mama yang duduk di seberang sembari memotong sayurannya hanya diam, mengedarkan wajah kembali pada buku-buku di hadapannya.

"Bicara saja." Perempuan itu terus memotong bawang dengan cepat, sesekali memperhatikan anak bungsunya.

Delta? Di hari seperti ini, tentu saja ia bangun lebih lama setelah usai bergadang menyelesaikan tugas untuk seminggu. Sementara Papa, masih berada di tempat kerja. Berbeda dengan Mama yang jadwalnya tidak terikat kantor, dan dapat menyesuaikan diri di keadaan tertentu.

"Ada pelajaran yang sulit? Mau ditanyakan ke Mama? Ah, mungkin lebih baik tanya ke abangmu dulu, Gama."

Memang ada yang ingin Gama tanyakan, kepada siapa pun itu. Namun, bukan berkaitan dengan pelajaran. Ia perlu meluruskan isi pikirannya yang rumit, membutuhkan jawaban yang jelas dan berharap agar dapat melapangkan dadanya.

Seperti lukisan yang ia lukis semalam. Kembalinya inhatan ini membawanya di antara kedua ambang yang begitu kontras, kegelapan yang begitu pekat ataukah cahaya yang penuh dengan warna terang.

Gama yang sudah jenuh dengan soal matematikanya itu akhirnya mengembus napas panjang. Buku ditutup rapat lalu meraih kertas coretan, menggambar tangan kanan seseorang yang berusaha menggapai sebuah harapan.

Diam-diam, Gama tersenyum tipis, menulis beberapa kata di pinggir kertas.

Berusaha untuk hidup saja sudah bagus.

Ayo, bicara.

Gama mengwpalkan tangan, menggenggam pensil dengan erat. "Ada yang mau aku tanyakan. Bukan tentang pelajaran."

Perempuan yang tengah menghidupkan kompor gasnya itu bergumam, sebagai pertanda iya.

"Aku ini ... Benar-benar menyusahkan, ya? Apa benar seperti yang dikatakan Orion, kalau biaya pengobatanku berasal dari uang keluarganya? Karena aku juga Papa dan Mama jadi harus me--"

"Memang benar, Papa dan Mama pernah meminjam uang dengan keluarganya, tapi bukan berarti tidak dikembalikan. Lagipula siapa yang berani mengatakan menyusahkan, Gama? Sini, berhadapan dengan Mama."

Gama terdiam seketika, tenggorokkannya tercekat seketika. "Pengobatanku--"

"Sudah lunas. Tidak perlu dipikirkan." Perempuan paruh baya dengan rambut yang diikat cepol itu mengelap tangan dengan kesal. "Mungkin sudah seharusnya Mama memberitahu kamu tentang hal ini. Jangan terlalu diambil hati dengan ucapannya, perilaku Papa dan Mama yang terkesan berlebihan juga sebenarnya tidak mengurangi rasa sayang Mama sama Papa terhadap kamu."

Diam-diam Gama mengerjapkan mata dengan cepat.

"Tapi aku ...." Gama terdiam sejenak, mencari oksigen yang berembus di sekelilingnya. "Ada kesalahan fatal yang pernah kulakukan dan kesalahan itu membawa penderitaan sampai sekarang."

"Hm?" Perempuan itu memgernyitkan dahi, menoleh ke arah anaknya sejenak. "Narkoba? Pencurian? Pem--"

"Ma, bukan." Gama tersenyum singat, menatap lembut. "Aku ... waktu itu membiarkan Mama tidak pisah dari Papa. Aku pikir dengan cara terus bersama semuanya lambat laun akan berubah, tetapi sepertinya akan meneruskan kesakitan dan ketakutan yang sama jauh lebih lama."

"Berhenti, Gama." Perempuan paruh baya itu memejamkan mata, mengembus napas panjang. "Berpisah juga tidak semudah yang kamu bayangkan. Jika memang benar ingatan kamu sudah kembali. Mama harap kamu tidak pernah melupakan ucapan Mama saat itu."

Gama mengangguk pelan. "Mengurus dokumen, pengacara, nama baik."

"Lagipula bukan kamu yang berhak menentukan itu, Gama. Maafkan Papa sama Mama karena meminta kamu dan Delta memilih saat itu. Pikiran Papa sama Mama saat itu benar-benar pendek. Ada banyak yang harus kami pelajari untuk memahami satu sama lain, dan berubah supaya rumah bisa menjadi tempat kalian pulang, ya."

Gama diam saja, menatap perempuan paruh baya itu dengan mata berairnya.

Mama Gama tersenyum, mencuci tangan sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekati Gama, memeluknya. "Maaf, Papa sama Mama terlalu keras dengan kamu dan Delta. Kalian berdua bersinar dengan potensinya masing-masing dan tetap nomor satu di hati Papa sama Mama, mengerti. Hanya saja ...."

Hening sejenak, perempuan itu tertawa pelan, menyeka sudut mata. "Hanya saja, Papa sama Mama tidak mudah untuk mengungkapkannya dengan jujur. Terutama papamu. Meskioun sulit, tetapi tolong pahami, dia memang seperti itu, Gama. Memang keras, tetapi dalam dirinya dia jauh lebih lembut dari yang kalian kira."

Gama memggeleng pelan. "Aku belum bisa memaafkan Papa, Ma. Atas perlakuannya Papa pada keluarga ini, Mama, Bang Delta. Kenapa dia hanya memperlihatkan kebaikannya dengan Orion, Ma. Kenapa aku harus melihatnya di depa mataku dan apresiasi-apresiasi seeprti itu ... jujur, aku juga ingin. Direndahkan memang bisa membuatku bangkit, tapi jika berlebihan bisa-bisa aku meyakini bahwa diriku memang benar tidak seberguna itu."

"Jangan berpikir seperti itu lagi, Gama," bisik peremouan paruh baya itu, mengelus belakang rambut Gama, membenamkannya dalam bahu. "Kalian berharga untuk Papa sama Mama. Bertahan. Apa pun situasinya, Papa sama Mama berharap kalian terus bertahan. Tolong pegang satu kata itu."

"Tidak perlu semuanya dihadapi, tapi bertahan saja sebenarnya sudah cukup lebih dari itu." Kini bukan lagi suara Mama, tetapi jauh lebih berat. Delta, anak laki-laki itu masih dengan baju tidur dengan ramhutnya yang berantakkan, ulasan senyuman singkat terbit di wajah, mendekati kedua orang berada di meja makan sana.

Delta langsung saja menjitak pucak kepala Gama yang berada di dekapan Mama.

Mama membulatkan mata, sememtara Delta tertawa pelan, mengusapnya. "Hilangkan ambisi lo buat kalahin makhluk sombong kayak Orion! Jadi diri lo sendiri! Lagian konsep lukisan lo udah selesai belum? Itu, kan, temanya? Jangan sampai kehilangan ciri khas lo, potensi lo, gara-gara mau buktiin ke orang-orang yang bahkan ga peduli akan pembuktian lo."

"Ma, Abang berisik," keluh Gama di dekapan perempuan itu.

Delta mendengkus, lalu menjulurkan lidah, mengejek. "Ya, lo juga habisan batu amat! Biarin aja gue berisik. Gantian kita."

__________________________________

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Up: 15.05.2024

Titik Koma; SketsaWhere stories live. Discover now