Kesederhanaan.

37 30 27
                                    

_Bahagia Jelang Kesudahan_

:

:

Alasan mendesak, para penumpang kapal Niaga masing-masing diberikan kamar penginapan secara cuma-cuma yang membaur di sekitar pedesaan Labuan Bajo, dengan kata lain mereka bermalam tanpa membayar biaya penginapan sepeser pun. Sementara itu, para awak tetap bertahan di atas geladak kapal, tegar menanti perintah selanjutnya yang mungkin datang dari arah tak terduga, sehingga mereka bisa sigap kapan saja.

Tak beda halnya Aslang, Dia menempati pendopo dengan sebuah kamar kecil yang cukup untuk dirinya seorang. Walaupun fasilitasnya terbatas, hal itu tak membuat Aslang resah. Baginya sebuah ruangan flat kecil dengan satu tikar tipis dari anyaman tembikar, sudah lebih dari cukup. Sebab Ia sudah terbiasa dengan keadaan yang memaksanya hidup sederhana sejak masa kecilnya sebagai santri dulu. Bahkan lebih buruk dari itu. Aslang ingat betul bagaimana Ia pernah tidur melantai di atas semen halus tanpa keramik, dan mendapati dirinya terbangun dalam keadaan pegal di sekujur tubuh.

Serba terbatas, tak ada cahaya listrik yang bisa menemani malam. Bahkan air pun menjadi barang mewah yang sulit didapatkan. Ketika senja menjelang, Aslang terpaksa bergantung pada sinar bulan dan lampu minyak yang memancarkan cahaya samar. Lampu  minyak sederhana. Tidak hanya sebagai penerang, tetapi juga sebagai teman setia saat Ia merenung dan mengulang pelajarannya di dalam ruang pendopo yang sempit. Tak ayal ketika alam datang memanggil, Aslang harus berjalan dua ratus meter dari penginapan menuju toilet umum untuk memenuhi hajat, lalu bersuci dengan air hasil timba dari sumur yang terletak dua depa dekat toilet tersebut.

Seperti hari-hari lalu, kala malam datang menawarkan gugusan kedipan bintang, melingkar mengitari rembulan, mengambang di kesunyian malam, selagi kerlip melintas lalu kemudian meredup pelan, keagungan Sang Pencipta kan selamanya menakjubkan. Terbelalak mata, bagi mereka yang diberi nikmat keimanan, justru ketika Junjunganku membelah bulan, sebagai mukjizat kenabian, mereka tetap saja melawan. 

Gemuruh tarian samar lampu temaram, Aslang merebahkan tubuhnya begitu saja ke atas tipis anyaman tembikar, menutup mata, mengepul azimat Batara Puang Allah Ta'ala. Dan berharap mudahlah segala urusannya, termasuk perjalanannya menuntut ilmu kali ini. Di tengah-tengah gelapnya malam, Aslang pun terlelap, membiarkan air mata kerinduannya mengucur membanjiri pipi. Datanglah kiasan. Seolah-olah, tidurnya adalah pelukan lembut dari Sang Maha Lembut, merangkulnya dalam doa-doa sunyi yang melangit.

***

Di kala sirnanya bulan menjelma kemilau surya menyingsing di ufuk timur. Labuan Bajo tampak seperti sebuah lukisan indah yang terukir dengan sempurna di atas kanvas putih kebiruan. terkerudung hamparan hutan tropis, serta panorama pasir putih, berserakan di sepanjang dada pedukuhan. Pepohonan mulai menari menyambut pagi, menggugurkan dedaunan kering, diiringi cemerlang butiran embun yang sebentar menetes ingkar dari pucuk-pucuknya, sembari berbinar menyilaukan mata tatkala menyorot gemerlapnya sinar matahari temaram. Kilauan berpendar, adimarga memancar, menembus kegelapan yang masih menunduk di setiap sela-sela dinding pedukuhan.

Bias mentari pagi memaksa cahayanya masuk melalui guratan dinding rumbia yang mulai lapuk termakan ganasnya sang waktu. Keheningan pagi masihlah rapat, mula-mula membangunkan Aslang dari alam kesederhanaannya, alam di mana jiwa melayang tak ber-penghalang, ke sana kemari, kian tak henti. 

Aslang kelasah-kelusuh. Apa gerangan Batara mengarang tidurnya sedemikian resah? Sesak menyerang begitu matanya terbuka. Dadanya berdesir menari-nari, nafasnya sengal tak terkendali, rasanya seperti terimpit di antara dinding pendopo yang semakin menyempit. Ia meraba, berusaha bangkit dan menduga penyebab dirinya amat tersiksa. Namun kejanggalan melintas begitu ia menyadari bahwa dinding tetap berdiri sempurna, melainkan gadis cantik yang tengah terlelap manis di peraduannya, itu semakin menjajah hendak menguasai ruang secara utuh. Sontak, Aslang tergopoh-gopoh bangkit dan menjauh ke salah satu sudut ruang.

Hikayat Aksara JawaWhere stories live. Discover now