Ombak.

126 93 23
                                    

_Dermaga Tiupan Angin Gelombang Pasang_

:

:

Sinar mentari pagi menambah kehangatan di antara pelukan mereka, pelukan yang terlihat tak mungkin ada habisnya, namun suling kapal itu sudahlah berbunyi untuk ketiga kali, tanda kapal sebentar lagi beranjak meninggalkan pelabuhan. Dekapan mula-mula renggang membuat sedu tangisan kembali terdengar. Terpukul betul batin Ibu ditinggal pergi Aslang, anak semata wayangnya yang mau tidak mau, harus pergi tanpa dirinya nan senantiasa mendampingi. Setelah beribu kata-kata pamit di lontarkan, Aslang melangkah menyusul barangnya yang sudah lebih dahulu berada di kapal. Ciuman terakhir lepuh membekas di dahinya perlahan kering tertiup angin lautan.

Dengan awas penuh ketelitian, para awak tampak mengangkat jangkar dan menolak kapal, menyingkir dari dingin sentuhan dinding beton persegi panjang, membentang mengelilingi dermaga Rotterdam yang megah. Dermaga ini tidak hanya sekadar titik berlabuh bagi kapal-kapal dagang, pelayar ke berbagai pelosok dunia; ia juga menyimpan rahasia dan kehebatan armada tempur gallarang'na Mangkasara', termasuk ketika Sultan Wedana, Seorang Sa'bannara'  putra kerajaan, memanfaatkannya sebagai pusat pengiriman Galai, kapal-kapal tempur dari kayu, sebagai bentuk hadiah dan bala bantuan bagi saudara-saudaranya yang berada di bawah penjajahan di Aceh, Maluku, Kalimantan, Manila, dan wilayah Nusantara lainnya. 

Demikian kini, dalam suasana mencekam, kapal kami bersandar di antara dua Galai raksasa, yang telah dikirim oleh Wedana untuk memperkuat juang pembebasan di Bali; daerah rantau, Buleleng. Galai-galai gagah nan megah, hasil rampasan perang dari pertempuran besar melawan Belanda, memamerkan barisan meriam di sisi-sisi setiap anjungannya, seakan siap untuk melumat musuh dengan kekuatan dan kemarahan yang melampaui batas. Pula Layar-layar merah gelap berkibar-kibar di atas kepala, menyampaikan pesan tak terucapkan tentang kekuatan dan ketegasan sang penguasa samudra dari Manila. Suara gemuruh angin, melolong-lolong di antara kibasan jaring layarnya, seolah menggertak dan menjadi ancaman, bagi siapa pun yang berani menantang.

Di kala gemuruh ombak dan sentuhan angin malam mulai menusuk, perpaduan antara kekuatan kapal dan keberanian awaknya terlihat jelas. Mereka adalah utusan dari kegelapan laut yang tak terkalahkan, siap untuk mempertahankan kehormatan dan kebebasan dengan segala upaya yang diperlukan.

Melalui perjalanan penuh menggelora, pelayaran kapal kami akan menjelajahi lautan Labuan Bajo, menukik melalui arus ombak yang tak terduga, dengan tujuan akhir, menghampar rebah di pelukan Selat Bali, lalu merapat dengan anggun di dermaga Tanjung Emas, yang menjulang kokoh di kota Surabaya. Kota yang tak pernah kehilangan seribu kisah, seperti buku yang belum terbaca sepenuhnya, namun juga disebut-sebut sebagai tempat di mana semangat belajar membara di dada-dada setiap pelajarnya.

Tepat sekali, sejalan betul dengan keinginan yang membara di lubuk hati, aku merasa bahwa perjalanan ini seperti benang yang menjalin takdirku, seiring dengan alasan yang menggerakkan langkahku. Ini adalah kesejajaran luar biasa, di mana keinginan bercampur aduk dengan alasan yang dalam, menggiringku untuk melangkah meninggalkan tanah yang telah memberiku berbagai pelajaran berharga, tanah Mangkasara yang menjaga kenangan pertama udara segar dalam napasku.

Dengan cinta yang terkandung dalam setiap sarafnya, aku bersiap menempuh perjalanan ini, melewati laut dan daratan, mengikuti aliran waktu yang terus bergerak maju. Dan di dalam hati, aku membawa rasa haru dan keberanian, siap menghadapi segala yang akan aku temui di perjalanan yang kaya akan pengalaman dan pelajaran baru.

Dari balik pagar anjungan kapal dapat kusaksikan ibu yang kembali melambaikan tangan di tengah deraian air matanya, merah bengkak mata ibu meneteskan kesedihan yang tak kunjung pudar, hidung kecilnya digantungi tetesan manik air mata, membiaskan kilauan putih jika tersorot cahaya mentari, tetesan itu berayun-ayun diganggu hembusan nafas deras tersengal-sengal yang keluar dari hidung tipis ala sultan batara Gowa.

Sedang aku hanya membalas lambaian tangan ibu yang masih menggantung di udara. Sebagai laki-laki aku tak tahu bagaimana menumpahkan rasa sedih yang sedari tadi menggumpal sesak di dada. Nyatanya tanpa kuminta terlebih dahulu, kesedihan itu memaksa dirinya untuk lekas keluar dan jatuh dari balik kantung mata, kemudian banjir membasahi pipi. Seperti inikah rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai? Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, namun bagiku kehilangan ibu adalah kebejatan yang tak pernah ingin kubayangkan, sekedar membayangkannya pun enggan.

Sesekali kupicingkan mata agar terus dapat mengawasi ibu melambai dari kejauhan, hingga jauh terhalang jarak pandangan itu sendiri. Masih dapat kubayangkan ibu yang meronta-ronta di dermaga karena kehilangan anak semata wayangnya, ia pasti menyesali ayah habis-habisan, karna memperkenankanku meninggalkan rumah, namun disisi lain ibu akan bangga memiliki aku, memiliki anak yang bersedia berbakti pada agama, juga padanya.

Ombak membawa geladak kapal ini semakin jauh dari bibir dermaga, laut tak lagi berwarna biru cerah dengan terumbu karang warna-warni di dalamnya, akan tetapi biru legam, lebam kehitam-hitaman. Dasar laut tak lagi tampak, tertelan jauh oleh lautan itu sendiri, sangat jauh, sama menjauhkannya aku dari hangat dekapan ibu.

***

Saat aku terhanyut dalam hening yang mendalam, dunia seakan terdiam di sekelilingku, hingga terdengar suara yang lembut memanggil dari balik punggung. Suara itu tidak asing bagiku; ia menembus ke dalam benak seperti alunan melodi yang telah kudengar sebelumnya, begitu akrab dan menghanyutkan. Semakin dekat dan dekat lagi, sampai akhirnya aku mampu mengenali sumber suara itu.

"Pak Yangki?" tanyaku pelan meski sebenarnya terperanjat kaget.

"Ih ... Aslang? kau berlayar juga rupanya?" jawabnya pelan meski sama kagetnya denganku "Anak Karaeng sepertimu untuk apa ikut merantau, kan banyak sudah uangmu?" lanjutnya.

"He he, saya sedang tidak merantau, Pak Yangki. Mencari uang atau apalah itu, saya hanya menuruti nafsu yang menuntut saya untuk mencari ilmu banyak-banyak" jawabku seadanya.

"Wah, sama dengan Ayumi putriku. Ia juga meminta melanjutkan sekolah ke Nusantara dibanding harus balik ke Jepang, sudah saya paksa berulang kali. Lah malah marah-marah tak jelas, ya sudah ... Ha ha" jelas pak Yangki.

Gadis yang kami rundingkan pun justru datang tak diundang. Panjang umur, gumamku. Dia terlihat lebih dewasa dan cantik kala seusiaku begini, angka delapan belas tahun membuatnya makin sintal dan rapi, dia begitu putih bersih, tak ada sedikit pun debu yang berhasil meniti di sana. Matanya pun tetap sama, sipit dan senantiasa berkedip legit, pula dihiasi gugusan lentik bulu mata yang kadang terkatup pelit. 

Lukisan indah Tuhan yang tak ada duanya, dianalogikan dengan keindahan alam pun tak hampir bisa, justru alamlah yang tersipu malu karena tak dapat menandingi pesona kedipannya, hanya sekedip saja. Rona merah di pipi bagaikan kumbang kepik yang sedang singgah di atas kelopak bunga Tulip, bening pipinya menampakkan cabang anak urat berwarna ungu kemerah-merahan, menjalar teratur dari balik sisi di setiap rahangnya. Bibir tipis bergaris pasti, sedikit lesung tenggelam di pipi, penambah kesempurnaan Dewi Ayumi. Namun sialnya bibir itu sama sekali tak bergeming lalu mengapa rasanya senantiasa memanggil batin. Ah sudah-sudah aku bukan lelaki pemuja kesempurnaan jasmani.

"Halo ... Eh, Ayumi" aku menyapa gugup, senyum paksa itu buktinya.

"Hah? Kak Aslang? Hore ...."

Seketika Ayumi terbang dan segera bergelayutan dalam dekapanku. Kurang ajar, tak ada bilik di kapal ini untuk mandi gumamku dalam hati.

 Kurang ajar, tak ada bilik di kapal ini untuk mandi gumamku dalam hati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hikayat Aksara JawaWhere stories live. Discover now