23: Pertanda baik?

59 8 2
                                    


Heejoo termenung di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang telah bersiap dengan seragam sekolah. Tidak ada yang istimewa, dan hari ini mungkin akan berjalan sama seperti hari biasanya. Hanya saja, Heejoo merasakan perasaan aneh sejak beberapa menit setelah ia terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berisik, begitupun dengan ingatan yang dimilikinya. Meskipun Heejoo tak begitu yakin, akan tetapi ia dapat mengingat apa yang terjadi kemarin walau sedikit samar-samar.

Heejoo ingat kapan terakhir kali ia memiliki kesadaran seutuhnya dan itu tepat sesaat sebelum Yongmi meminjam tubuhnya untuk menemui Jaemin. Heejoo memang tidak memiliki ingatan akan hari itu, bahkan sedikit bayangan akan ingatan hari itu pun tidak ada. Hanya saja ada satu bagian dalam ingatannya yang Heejoo yakin sekali bahwa ia tidak memiliki eksistensi pada hari itu. Tapi ingatan tentang apa, dan kenapa ingatan tersebut melekat di dalam dirinya. Bukankah itu aneh? Selama ini Heejoo hanya merasakan kekosongan setiap kali ia kembali memiliki kesadarannya.

Lama Heejoo merenungkan jawabannya, hingga suara yang terdengar samar-samar di dalam kepalanya itu kembali berputar. Hal itu tentu saja membuat Heejoo bergegas mengambil tas sekolahnya dan berlari keluar dari rumah. Langkahnya yang tergesa-gesa itu berakhir dengan napas yang tersengal-sengal ketika tiba di depan pintu rumah Renjun.

“Nenek, Renjun ada?” tanya Heejoo segera ketika menemukan nenek Renjun yang membukakan pintu untuknya.

“Renjun sudah pergi ke sekolah. Memangnya Heejoo tidak pergi bersama Renjun hari ini? Bukankah biasanya kalian berdua selalu pergi bersama?”

Ah, itu tidak benar. Kalaupun ada, pergi bersama itu hanya sebuah kebetulan. Apakah selama ini nenek berpikir bahwa dirinya dan Renjun selalu bersama? Namun Heejoo tentu tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Ia kemudian tersenyum malu sembari menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. “Heejoo tadi bangun terlambat,” jawab Heejoo sedikit terkekeh.

“Sepertinya Renjun pergi duluan, ya, Nek. Kalau begitu Heejoo pamit dulu. Terimakasih, Nek.” Setelah berpamitan, Heejoo lantas membawa langkahnya meninggalkan lingkungan rumahnya.

Perasaan aneh yang membuatnya tak nyaman itu kembali menguasai dirinya. Heejoo tak mengerti, kenapa ia begitu mengkhawatirkan kondisi Renjun sekarang ini. Padahal Heejoo yakin sampai beberapa hari yang lalu, ia masih membenci Renjun. Bahkan tak ada waktu baginya untuk menanyai keberadaan pemuda itu maupun mengkhawatirkannya.

Tapi, sepertinya Heejoo salah. Hari yang tidak diinginkannya itu ternyata datang juga. Hari dimana ia menanyakan keberadaan Renjun pada seseorang yang sangat tidak ingin ia ajak bicara selama berada di sekolah ini. Orang itu adalah Jeno. Murid teladan nomor dua itu tak sengaja berpapasan dengan Heejoo pagi ini di lobi dan Heejoo yang ingat akan betapa dekatnya pemuda itu dengan Renjun, lantas bertanya tanpa perlu memanggil nama pemuda itu.

“Apa kau melihat Renjun?”

Jeno yang tengah membawa tumpukan buku di tangannya, lantas menoleh ke belakang dengan raut wajah kesal. “Kau bertanya padaku?” tanya Jeno yang kemudian membawa langkahnya mendekati Heejoo.

“Justru aku juga ingin menanyakan hal itu padamu. Apa dia tidak masuk lagi hari ini? Kemana perginya brengsek itu?”

Heejoo tak pernah berekspektasi tinggi mengenai keramahan si murid teladan nomor dua. Heejoo tidak sama dengan para gadis di sekolah ini yang tergila-gila dengan pemuda yang ada di hadapannya sekarang ini. Hanya saja, ia sedikit terkejut ketika mendengar bagaimana cara Jeno menyebutkan temannya dengan kata ‘brengsek’.

SUN AND MOON || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang