16: Tunggu aku pulang

237 55 62
                                    

Bel pertanda jam sekolah telah usai berbunyi 10 menit yang lalu dan dengan cepat membuat seluruh isi kelas kosong tak berpenghuni. Namun tidak untuk kelas 2-3 yang masih menyisakan sosok gadis yang tengah duduk termenung di bangku belakang. Jika dilihat dari rupanya dan juga name tag yang terpasang di seragam, gadis itu memanglah Moon Heejoo. Namun percayalah, raga itu hanyalah cangkang bagi jiwa Haechan yang masih berdiam di dalam sana.


Sorot matanya nan sendu ia arahkan keluar jendela, memperhatikan langkah-langkah kecil sekumpulan orang-orang yang mulai meninggalkan pekarangan sekolah. Haechan iri melihat mereka semua yang memiliki tujuan untuk kembali. Ya, rumah. Berbeda dengan Haechan yang tidak memiliki tempat untuk pulang.

Rumah? Tentu ada dan Haechan juga sudah menemukan keluarganya. Namun jika untuk pulang rasanya sangat tidak mungkin. Semuanya sudah tak sama lagi seperti dulu. Mereka sudah tidak bisa lagi melihat kehadiran Haechan. Jadi tidak ada gunanya bagi Haechan untuk kembali. Jika dipaksakan untuk kembali, Haechan hanya akan merasakan sakit yang berkali-kali lipat. Rasa sakit karena tidak bisa meraih keluarga kecilnya. Rasa sakit karena melihat keluarganya yang menangis karena dirinya. Dan juga kenyataan yang harus ia terima begitu terasa menyakitkan.

Kemarin, saat secara tak sengaja takdir membawa Haechan dan mempertemukannya kembali dengan keluarganya, pada saat itu pula Tuhan seakan memberitahu Haechan mengenai kondisinya. Saat itu Haechan menemukan selembar dokumen yang tergeletak di atas meja belajar di kamarnya. Secara bersamaan, Haechan seolah mendapatkan kabar baik dan buruk melalui dokumen tersebut. Kabar baiknya adalah Haechan bisa tahu bahwa raganya memang masih berada di dunia ini. Namun kabar buruknya, raga itu sudah tak berdaya lagi dan tengah tertidur lelap tinggal menunggu waktu untuk segera menghentikannya. Ya, dokumen yang Haechan temukan itu merupakan surat izin pencabutan alat penunjang hidup pada pasien mati otak atas nama Lee Haechan. Ya, dirinya.

Kini, hidup Haechan hanya bergantung pada alat-alat medis tersebut. Jika alat-alat tersebut dicabut, maka pada detik itu juga waktunya di dunia ini berakhir. Tapi untungnya, di dalam surat tersebut Haechan belum menemukan tandatangan bunda. Itu artinya bunda belum menyetujui keputusan tersebut dan bunda belum siap untuk kehilangan Haechan sepenuhnya. Haechan harap begitu dan Haechan sungguh sangat berharap jika bunda percaya bahwa dirinya masih hidup.

"Bunda..."

"Tunggu Haechan pulang ya..."

Meskipun Haechan tahu hal tersebut sangatlah mustahil untuk terjadi, namun tidak ada salahnya untuk berharap, ‘kan?

Detik berikutnya, Haechan segera bangkit dari bangkunya seraya menyampirkan tas di sisi bahu kanannya. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum kembali membawa langkahnya meninggalkan ruang kelas yang kosong. Setelah keluar dari kelas, Haechan tidak langsung pulang ke rumah si pemilik raga yang ditempatinya. Rasanya akan terasa canggung jika kembali sendiri ke tempat yang bukan rumahnya. Tapi bukan berarti Haechan akan membawa kabur raga ini. Tidak. Justru itu, setelah dari kelas ini Haechan akan menemui seseorang yang biasanya sering nongkrong di gedung olahraga setelah jam sekolah usai. Park Jisung, pemuda itulah yang Haechan maksud. Siapa tahu Jisung mengetahui cara yang mudah bagi arwah untuk keluar dari raga manusia.

Setibanya di gedung olahraga, tepatnya di area kolam renang tempat dimana biasanya Jisung berlatih, Haechan sama sekali tidak menemukan pemuda itu. Kosong, tidak ada orang sama sekali. Tak mau ambil pusing, Haechan pun memilih untuk mencari Jisung di area lapangan basket. Sebab sepengetahuan dan sepengalaman Haechan selama menjadi arwah, jika Jisung tidak ada di kolam renang, maka pemuda itu pasti berada di lapangan basket bersama temannya yang bernama Chenle.

SUN AND MOON || HAECHANWhere stories live. Discover now