Bab 10

7.4K 334 23
                                    

"Ra,"

Lastri mengetuk pintu anak tunggalnya.

"Kamu udah makan?"

"Nanti, Bu. Aku masih kenyang,"

"Hm, tadi Bara ke sini. Nanyain kamu, dia juga minta maaf kalau baru sekarang ke sini."

Kara mendengus, basi. Batinnya. Lagi pula ini sudah dua Minggu. Pria itu baru menampakkan wajahnya lagi di sini? Ck. Kemana saja pria itu? Ah lagi pula untuk apa dirinya memikirkan duda itu. Dia kan sudah memutuskannya, yasudah lah.

Javier?

Bocah itu putra bungsu Bara?

Apakah dia sudah tahu bahwa ia kekasih ayahnya? Jika iya, itu artinya selama ini dirinya yang dibodohi oleh bocah itu. Padahal dia sudah menyayangi Javier sama seperti Nio atau mungkin lebih-lebih menyayanginya. Namun, mengingat kejadian tadi membuat dia sedih. Karena merasa telah dibohongi oleh ayah dan anak itu. Mengingat Bara selama ini yang enggan memperkenalkan anak-anak kepadanya. Karena menurut pemikirannya bahwa kedua anaknya tidak menerimanya sebagai kekasih ayahnya.

Maka tidak menutup kemungkinan jika ayah dan anak itu sekongkol untuk  mengetesnya. Jika benar begitu, mereka jahat padanya. Menjadikannya bahan, atau bahkan dirinya ditertawakan akibat kebodohannya. Ah jika benar begitu, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti.

Rasanya cuti yang dirinya ambil percuma saja, toh dia kembali stress.

Kara memilih tidur, tidak mau memikirkan kejadian tadi yang membuatnya sakit kepala. Berharap ketika bangun nanti, otaknya akan fresh.

***

Kara sedang makan siang diluar dengan Uti. Dia sengaja memilih restoran depan mal nya bekerja, agar tidak begitu memakan waktu untuk kembali ke butiknya. Mumpung gaji mereka sudah masuk, jadi dia bersenang-senang sedikit untuk makan siangnya kali ini. Uti pun ikut-ikutan karena dia juga ingin mencoba makan di restoran baru sana.

Sedang asyik-asyiknya makan sambil mengobrol, tiba-tiba saja meja mereka di datangi seorang wanita asing dengan dandanan yang modis.

"Jadi kamu yang namanya, Kara?"

Wanita itu memandang Kara dengan pandangan sinis.

Kara yang mendengar dan ditatap seperti itu jelas saja kaget dan merasa tidak terima, baru saja dia akan membuka mulut. Wanita itu kembali bersuara.

"Apasih yang dilihat Bara dari kamu? Dari style saja kamu itu nggak ada setengahnya dari Wina." Masih memandangnya dengan pandangan mengejek.

Mulut Kara terkatup rapat, dia merasa terhina. Wina? Apakah itu mantan istri Bara?

"Seharusnya kamu itu sadar diri, yah oke lah tampang kamu lumayan. Tapi kamu itu miskin, jauh berbeda dengan keluarga Wijcaksono. Jadi, lebih baik kamu tinggalkan Bara, karena dia akan kembali dengan mantan istrinya."

"Jika kamu memaksa untuk terus bersama Bara. Kamu tahu akibatnya, Kara. Kita menentang keras hubungan kalian, apalagi mami dan Melvin. Dia tidak suka kamu, jadi pikirkan baik-baik sebelum kamu tahu akibatnya."

Setelah mengatakan hal itu, Bianca pergi meninggalkan Kara yang terdiam membisu. Uti yang duduk disampingnya sedari tadi hanya bisa diam sambil menahan napas. Dia bener-benar tidak percaya melihat drama di depannya, ini seperti novel dan drakor yang sering dia tonton. Namun, selain itu dia juga harus ingat. Bahwa Kara-seniornya itu mendapat serangan pembullyan, dia tidak tahu siapa wanita itu. Hanya saja dia berpikir jika wanita itu adalah salah satu keluara bos besarnya.

"Ti, kamu udah makan siangnya, ayok ke toko. Mbak udah nih,"

Kara berujar sambil meminum matcha latte nya.

Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ