oOo

Milka tidak pernah diberikan kebebasan untuk melakukan hal yang dia mau. Setelah Prita pergi, Milka hanya terbengong di kamarnya. Isi kepala Milka seperti ditarik semua hingga hanya tersisa kekosongan. Sama sekali tidak ada bayangan apa yang ingin dirinya lakukan. Padahal ini kesempatan yang tidak datang setiap saat.

Milka menepuk-nepuk kepalanya. "Kenapa aku nggak bisa mikir apa pun?" gumamnya. Milka pun menggigit bibirnya. Berjalan ke sisi kiri beberapa langkah lalu berbalik dan melakukan hal yang sama. Milka menggeram begitu isi pikirannya tetap buntu.

"Ayo mikir Milka, ayo ...."

Milka mengetuk-ngetuk keningnya. Sebenarnya bukan benar-benar Milka tidak ada keinginan. Misalnya seperti makan makanan apa pun dengan bebas, tapi itu akan mempunyai efek untuk hari berikutnya di mana Prita juga akan kembali ganas jika tahu berat badan Milka naik. Milka tak mau ambil resiko.

Milka juga bisa memilih tidur seharian, tapi dirinya yang sudah terbiasa dengan waktu tidur yang sempit tidak bisa memejamkan matanya meski ingin.

Milka menghentakkan kaki. Menyerah dengan menggali keinginannya yang juga tidak bisa ditemukan. Ia pun pergi ke arah lemari lalu mengambil gaun santai. Ia memutuskan untuk pergi keluar saja.

Lalu 1 jam setelahnya Milka menyesali hal itu. Mobil yang dirinya tumpangi melaju tanpa arah karena Milka yang belum juga menentukan tempat yang ingin dirinya tuju. Dia justru kebosanan dengan kepala yang bersandar pada jendela, sementara sang sopir terkadang melirik dari kaca spion, ikut bingung.

Milka menghela napas. Pejalan kaki, anjing yang berlari, pedagang yang mengoceh, anak kecil yang bermain ... Milka menegakkan tubuhnya kepala menoleh ke belakang melihat anak kecil bermain yang sudah terlewat itu. Tiba-tiba Milka mendapatkan ide.

"Pak, berhenti di supermarket!"

Singkat waktu berlalu, di sini Milka berdiri sekarang. Di depan sebuah gerbang dengan tulisan panti asuhan di atasnya. Kedua tangannya menjinjing keresek besar berisi makanan ringan. Hasil dirinya berbelanja di supermarket. Panti asuhan ini tidak terlalu besar. Milka rasa bawaannya tidak akan kurang.

Milka sudah sering mengikuti kegiatan amal, baik bersama keluarganya atau keluarga Hema, tapi Milka belum pernah pergi sendiri seperti ini. Padahal Milka selalu berani melakukan presentasi di depan banyak orang, dia juga tidak canggung jika harus pergi ke pertemuan kolega papanya, tapi untuk sekarang, Milka akui cukup merasa gugup.

Milka menelan ludah. Sepertinya dia salah ambil keputusan lagi. Apa sebaiknya Milka pulang saja? Mungkin Milka menyuruh orang saja untuk menyampaikan makanan-makanan ini.

Di saat Milka memikirkan pilihan itu, seorang anak tiba-tiba berlari ke arahnya.

"Kakaaak ...."

Anak perempuan dengan senyuman lebar itu menatap Milka dengan penuh binar. "Ini buat kita?"

Milka mengangguk dengan kaku.

"Yeay!" Anak itu berjingkrak seru.

"Semuanya ada Kakak cantik bawa jajan!"

Seketika anak-anak kecil dari berbagai arah berlari ke arah Milka. Milka mengerjap kaget ketika dirinya kini dikerubungi.

"Biar aku yang bawa, Kak," ucap anak laki-laki yang mungkin berusia 12 tahun. Dia yang paling dewasa di antara mereka semua.

Tangan Milka yang sudah kosong itu kini digenggam oleh anak perempuan yang pertama kali mendatanginya itu. Mereka melewati halaman dengan rumput hijau. Anak-anak itu langsung duduk melingkar dengan tertib menunggu anak yang paling dewasa membagikannya. Milka tidak ikut di sana, si gadis kecil membawa Milka masuk ke dalam.

"Ibu, Serena bawain Kakak Cantik."

Milka terkaget dan menatap gadis kecil itu. Belum juga Milka kembali sadar, gadis itu membawa dirinya untuk bersimpuh di depan seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi rotan. Dari bola matanya yang berwarna putih, wanita itu tidak bisa melihat.

Gadis kecil tadi meraih tangan wanita itu lalu menyatukan dengan tangan Milka. "Ini Kakak Cantiknya. Dia bawain banyak makanan loh."

Wanita itu tersenyum. Milka dibuat terpaku. Senyum lembutnya terlihat cantik sekali.

"Kakak sama Ibu dulu ya, aku mau ambil bagian aku dulu." Gadis kecil itu pun pergi, meninggalkan mereka berdua. Milka berdeham dengan gugup.

Milka melihat sebelah tangan wanita itu terangkat dan mencoba menggapai-gapai. Milka yang berlutut pun sedikit maju hingga tangan itu pun hinggap di kepalanya.

Wanita itu tersenyum lagi dan mulai mengusap-usap rambut Milka. "Sayang, siapa namanya?" tanya dengan suara yang lembut. Suara terlembut yang pernah Milka dapatkan. Milka tertegun beberapa saat. Seperti ada yang mengalir dalam dadanya, menjalar dengan perasaan yang aneh.

"Milka," ucap Milka dengan suara yang pelan.

"Cantik." Wanita itu pun beralih menyentuh pipi Milka. "Nama Ibu Sarah. Senang sekali bisa kenal Milka."

Milka mengangguk. Ia mencoba tersenyum, lalu kemudian terbingung karena Sarah tentu tidak bisa melihat senyumnya.

"Milka sama siapa ke sini?"

"Eu, sendiri."

"Hebat sekali. Semua makannya juga dari Milka sendiri?"

Milka mengangguk.

Sarah tiba-tiba memeluk tubuh Milka. Milka yang terkaget membelalakkan matanya. Meskipun begitu dia tidak berontak sama sekali.

"Sayang ...." Sarah kembali mengusap rambut Milka.

"Makasih ya, sudah menjadi anak yang baik," bisiknya di samping telinga Milka.

Milka semakin tertegun. Lalu kebingungan dengan air matanya yang tiba-tiba saja turun. Milka menepisnya cepat, dia bukan orang yang semudah itu menangis. Dirinya tidak sedang disakiti, dirinya juga tidak sedang ditekan, tapi kenapa air mata yang turun semakin banyak.

Milka mempercepat gerakan tangannya untuk menepisi air mata itu, tapi sekarang dadanya malah ikut sakit padahal Sarah tidak membentak apalagi berkata kasar.

"Kamu sudah banyak berusaha."

Milka menggigit bibirnya, menahan suara isakan yang tiba-tiba merangkak naik. Dalam kepalanya berbagai perjalanan sulit yang dirinya lakukan tapi tak pernah dihargai itu saling berdatangangan. Milka tanpa sadar mencengkeram pakaian Sarah.

"Ibu bangga sama kamu."

Milka mendorong wanita itu. Dia segera berdiri lalu pergi dari sana. Tangannya tidak diam, terus berusaha menghapus air matanya yang turun.

"Maaf," ucap Milka yang tanpa sengaja menabrak seseorang di pintu keluar.

"Milka?"

Milka mendongak dan langsung memalingkan muka begitu melihat Hema di sana. Milka menutupi wajahnya dengan telapak tangan dan berusaha memendam isakannya.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya seraya terus berusaha menutupi wajahnya. Dia tidak boleh terlihat menangis di hadapan Hema.

"Minggu terakhir setiap bulan, perusahaan Mama donasi di sini."

Milka menggigit bibirnya, kenapa harus ada kebetulan semacam ini?

"Aku nggak tau itu, aku nggak ngikutin kamu."

"Aku tau," jawab Hema. "Kamu nggak punya waktu untuk hal kayak gitu."

Milka mengangguk-angguk dan berharap Hema segera pergi. Namun, yang terjadi justru jauh dari perkiraan Milka. Hema, tiba-tiba memeluknya.

oOo

*Baca duluan di Karyakarsa

Fight for My Fate [TAMAT]Where stories live. Discover now