17. Kue untuk Aira

Start from the beginning
                                    

Asad mengangguk menyetujui ucapan Fadhil. Usia mereka sama. Tiga tahun lagi sudah mencapai kepala tiga. Seharusnya mereka segera mencari istri di umur ini. Mereka terlalu fokus mengejar karir hingga tak ada waktu mencari istri.

"Kalau begitu ya mulai saja mencari, Dhil. Di suatu tempat pasti ada perempuan yang cocok dengan hati kamu," kata Asad.

Fadhil menatap kembali pada sahabatnya itu. "Saya sudah ketemu yang cocok, tapi saya masih bingung," jujurnya.

Saat itu juga Asad terkejut mendengar pengakuan Fadhil. Sahabatnya itu sudah menemukan perempuan yang cocok? Di waktu yang singkat ini?

"Kamu sudah ketemu? Secepat ini? Siapa Dhil?" tanya Asad beruntun. Ia tak menduga kalau sahabat ini diam-diam sudah mengincar seseorang ternyata.

"Haruskah saya memberitahu kamu? Menurut saya kamu tidak perlu tahu," kata Fadhil sambil mengangkat satu alisnya. Berlagak congkak yang membuat Asad langsung sebal.

"Ya sudah kalau saya tidak perlu tahu, tidak usah cerita!" sebal Asad. Memancing tawa Fadhil mengudara saat itu juga.

"Bercanda Sad. Jangan terlalu serius," kata Fadhil. Namun saat itu Asad hanya memutar bola matanya malas.

"Kamu tahu kok perempuan itu. Tapi sepertinya saya belum siap untuk kasih tahu kamu siapa perempuan itu sekarang ini. Nanti setelah semuanya pasti, saya pasti kasih tahu kamu," tutur Fadhil dengan diakhiri senyuman kecil.

Asad menghembuskan nafasnya kasar saat itu. "Ya, tidak masalah. Tapi, sebenarnya apa yang buat kamu bingung Dhil? Kamu masih ragu dengan dia?"

Fadhil menggeleng. "Setelah salat istikharah. Saya dibuat yakin dengan keputusan saya untuk memilih dia. Tapi belum begitu mantap. Terutama karena saya merasa gusar karena pemikiran saya sendiri. Kegusaran itu tentang ini Sad, saya tidak yakin apakah niat baik saya nanti akan di terima atau tidak oleh perempuan itu, Sad. Terlebih yang saya tahu, dia pernah menjalin ikatan dengan orang lain. Namun ikatan itu gagal dan berakhir dengan perpisahan," jelasnya.

Tampak sedikit kerutan di dahi Asad seusai penjelasan Fadhil. Dalam pikirannya terlintas satu kesimpulan. "Maaf Dhil, apa perempuan itu sebelumnya pernah menikah? Lalu dia bercerai dengan suaminya?"

Sesaat Fadhil terdiam, sebelum akhirnya mengangguk membenarkan tebakan Asad. "Ya. Maka dari itu saya bingung dan sedikit cemas jikalau niat saya ditolak nanti. Padahal setelah sekian lamanya saya menunda untuk menikah. Hanya dia yang bisa membuat hati saya tergerak untuk mengikatnya dalam ikatan suci itu," jelasnya.

"Dhil, itu artinya kamu ragu dengan diri kamu. Yakinlah. Jika memang perempuan itu sudah di takdirkan untuk bersama dengan kamu. Apapun rintangan yang akan datang nanti. Pasti dia akan tetap berakhir dengan kamu." Seulas senyuman kecil Asad tunjukkan pada Fadhil. Mencoba meyakinkan sahabatnya yang sedang overthinking ini.

"Bawa santai saja Dhil. Ambil simpelnya, kalau jodoh pasti Allah tunjukkan jalannya. Kalau tidak pun, Allah pasti akan kasih ganti yang lebih baik," tambah lelaki itu.

Mendengar perkataan Asad, hati Fadhil di buat sedikit lega. Pikirannya juga jadi lebih terbuka saat ini. Apa yang sahabatnya katakan memang benar. Tak seharusnya ia mencemaskan hal itu. Jika ia dan Nayara memang berjodoh, pasti mereka akan di persatuan suatu hari nanti.

Fadhil tersenyum pada sahabatnya itu. "Makasih Sad, sudah membuka hati dan pikiran saya," ungkapnya tulus.

"No problem," balas lelaki itu. Mengundang tawa Fadhil. Pun dengan Asad yang juga ikut terkekeh saat itu.

"Eh, Sad itu bungkusan apa?" Tatapan Fadhil kini tertuju pada sebuah paper bag di atas meja di dekat sofa.

Asad yang posisi duduknya membelakangi sofa lantas memutar tubuhnya melihat apa yang di maksud Fadhil. Dan saat itu juga Asad langsung menghembuskan nafasnya kasar. Pun dengan tubuhnya yang kini mulai beranjak untuk mengambil paper bag itu.

Lantunan Surah Asy-SyamsWhere stories live. Discover now