19. Menyantuni Anak Yatim

1.1K 167 90
                                    

___________________________________________



Sudah tiga hari ini, setelah Azizi marah kepadanya, pria itu tak muncul lagi di rumah. Tiga hari yang lalu, mungkin adalah pertama dan terakhirnya Azizi bermain dengan Orion seharian.

Ada sesuatu yang hampa di hati Marsha, entah itu apa, tapi, yang jelas hatinya sekarang seperti terombang ambil pasca kapal besar sudah terbentur hancur menabrak batu es.

Marsha mengembuskan napasnya, tiga hari ini pula, Orion selalu menanyakan kenapa teman besarnya itu tidak lagi bermain dengannya, Orion bahkan terlihat begitu biasa saja ketika Armand datang dan seringnya tidak menghiraukan keberadaan Armand.

Seperti sekarang ini, saat Marsha baru saja selesai membuat sarapan pagi, Orion masih terlihat berdiri di kursi menatap jendela besar di depannya, seperti menunggui seseorang. Orion tak banyak bertanya, tapi, kelihatan bahwa rindu yang ditabung anaknya tidak lagi muat untuk ditampung.

"Serealnya udah mama siapin, Aja mau makan sendiri atau disuapin Mama?" Marsha duduk di sofa, memeluk putranya yang masih diam menatap jalanan dengan layu.

"Om Fwiend nda datang, Mamaca?"

"Uhm... kayaknya ada urusan. Kenapa? Aja kangen?" Marsha menyenderkan kepalanya di senderan sofa, menatap lekat wajah mungil itu dalam diam.

"Om fwiend bilang suka main sama Aja. I like him too. Tapi, nda datang lagi. Om fwiend nda suka Aja lagi, Mamaca?"

"Enggak begitu. Om lagi ada pekerjaan dan kerjanya jauh, jadi dia akan datang kalau sudah selesai bekerja."

"Like Ayah?" Tanya Orion, ia duduk dalam pangkuan Marsha. "Ayah kelja jauh juga ya, Mamaca? Papa Onyil bilang Aja gitu..."

Marsha masih ingat tatapan merana dari Azizi malam itu, sehingga kubangan rasa bersalah seperti menjadi tempat tinggal Marsha saat ini. Sampai detik ini pula, ia tidak pernah membenarkan tindakannya. Tentu saja, menyembunyikan anaknya dari sang ayah yang tidak tahu apa-apa bukanlah pilihan yang bijak, tapi, sampai detik ini Marsha masih merasa bahwa itu pilihan yang tepat.

Terlalu banyak risiko, terlalu banyak masalah jika semua orang tahu siapa Orion dan itu akan semakin memberatkan hidup Azizi, Marsha yakin soal itu.

Azizi itu seorang public figure, menyetujui ikut serta merawat Orion, harusnya Azizi paham bahwa mau tidak mau pria itu harus mengakui anaknya—tidak perlu di depan kamera, cukuplah sampai di mana ia mengenalkan Orion kepada keluarganya, tunggu sampai mereka tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua dan lambat laun pula, seiring berjalannya waktu, Orion semakin tidak tahan dengan kehidupan Azizi yang penuh kelap-kelip kamera dan berita murahan di luar sana, mulai mengerti bahwa ia bukanlah anak yang direncanakan, lahir dari sebuah hubungan tanpa pernikahan dan banyak lagi kemungkinan buruk yang hanya akan mempersulit dan membuat hidup anaknya semakin terombang-ambing dengan kisah perjalanan hidupnya sendiri.

Bagaimana kalau Azizi malu untuk mengakui, bagaimana kalau Azizi enggan untuk mengenalkan, bagaimana kalau ternyata ia ogah hanya untuk membawa Orion pergi berdua di tempat umum, memunculkan banyak pertanyaan dan itu hanya akan membuat hidup Azizi makin runyam juga Orion yang akan terluka.

Entah bagaimana, semuanya menjadi sangat rumit dan harusnya, tetap diam dan tidak mengatakan yang sebenarnya adalah pilihan yang benar, sehingga mereka berdua hanya bertemu dan bersinggungan, tanpa bertemu, bersinggungan dan tiba-tiba bersama seperti ini. Meski bersama yang Marsha maksud adalah untuk Orion.

"Mamaca, I'm so sowy..." Orion menoleh, ketika tahu bahwa ucapannya tidak digubris sama sekali. Ia selalu bingung, kenapa Papa Oniel begitu sangat sering menceritakan ayahnya yang keren itu, tetapi Mamaca selalu tidak suka dengan cerita soal ayah.

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalWhere stories live. Discover now