13. Pertemuan Pertama

959 159 34
                                    


___________________________________________


Marsha lupa apa yang terjadi dengan tadi malam, ia hanya menutup pintu dan menemukan bocah berusia tiga tahun yang tidur di ranjangnya dengan lasak. Ketika Marsha sudah tertidur di sana, ia bahkan sedikit terganggu dengan gerakan-gerakan bocah ini, kadang menendang perutnya bahkan hidungnya ditendang juga, tapi, ya sudah, bukan berarti Marsha tak senang dengan kehadiran Bagja saat ini. Ketika ia membuka matanya di pagi hari, Bagja masih terlelap juga, memeluk tangan kanan Marsha seakan tak ingin dilepaskan sama sekali.

Jika sudah begini, ia tidak ingin ke mana-mana, kecuali diam dan menatap lekat wajah manis putranya.

Putranya yang malang.

Mungkin Bagja kelelahan perjalanan Bogor ke Bandung dengan memakai mobil tentu saja perjalanan jauh untuk bocah ini, jadi, Marsha tak tega untuk membangunkannya, biarkan bocah itu bangun sendiri dan Marsha siap mengawali hari dengannya.

Marsha kadang terharu, melihat Bagja sudah sebesar ini. Kedatangannya yang tidak diinginkan siapapun yang tumbuh dalam garis takdir tak terucapkan, tersembunyi dalam cerita kelam yang Marsha emban dalam rahasia, membuat Marsha kadang selalu terlempar pada puing-puing kebodohan dan dosa masa lalu, yang sampai detik ini masih loyal mengiringi langkah dan tiap embusan napasnya.

Tiap kali putranya tersenyum segaris seperti berubah menjadi seuntai getir bagi Marsha, di mana, senyum itu, nyaris tercetak begitu mirip seperti ayah biologisnya yang kini kabur entah ke mana.

Marsha meyakini bahwa memang tepat sekali ia tak memberi tahu Azizi pada saat itu, karena empat tahun lalu, Marsha masih mencintainya, jika ia memberi tahu Azizi, Marsha tidak yakin ia bisa untuk menahan semua rasa sakit ketika tahu bahwa pria itu tak akan mengambil tanggung jawab bahkan hanya secuil jari. Sekarang, Marsha yakin sakit hatinya tak akan berlarut-larut, tak mengapa, jika Azizi tidak mau, toh hidupnya ke depan bersama Bagja akan baik-baik saja.

Ia juga harusnya tak mengharapkan apapun.

Marsha tahu bahwa berdiam diri di sana terus-terusan hanya akan membuat bayangan-bayangan itu kembali lagi, jadi, ia memutuskan untuk beranjak dan membereskan bantal bersama gulingnya, ia letakan di sisi tembok, takutnya Bagja masih tidur lasak dan yang terjadi kepalanya terbentur.

"Morning..." Marsha keluar dari kamar dan menemukan Mas Oniel dan Kak Indah yang sedang bercengkrama, seperti tak kenal lelah karena sudah bangun duluan.

"Pagi, Sha... kerja jam berapa?"

"Entar, jam satu. Kenapa udah pada bangun? Capek lho, Kak Indah, padahal tiduran dulu aja."

"Biasa... subuh-subuh ngidam cireng, pusing sekali nyari cireng subuh-subuh."

"Di pasar banyak kok, siap goreng." Marsha baru diberi tahu kemarin kalau Indah tengah hamil muda saat ini.

"Tuh, kata adek di pasar banyak. Mas mu emang enggak mau nyari aja." Indah memutar matanya malas dengan wajah agak bete.

Jujur, Marsha baru kali ini melihat wajah Indah yang seperti itu, kekanak-kanakan, tapi... begitulah memang, Marsha persis tahu bagaimana rasanya menginginkan sesuatu tapi tak dilaksanakan. Sayang sekali, dulu, ia tidak bisa meminta pada siapapun, termasuk kepada Handa yang ketika Marsha sedang mengandung, Handa bahkan sudah jatuh sakit-sakitan. Beruntungnya, ia masih bisa ditemani Handa sewaktu melahirkan. Mengingat itu, Marsha jadi sakit lagi, entah untuk apa, entah pada siapa.

"Dek?"

"Hn?" Marsha menoleh pada Oniel dan Indah yang sedari tadi menatapnya heran.

"Kenapa melamun?"

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang