11. Beku

1.1K 144 55
                                    

___________________________________________

"Why didn't you tell me about Bagja?"

"Karena akupun enggak memberi tahu dia kalau aku ibunya."

Azizi duduk di sebuah bangku kayu di belakang rumah Enin. Suasana kebun teh pada sore itu terhampar luas seperti karpet hijau dan tertata, langit mulai berwarna jingga dan matahari di depannya siap dipukul oleh penguasa kegelapan untuk tenggelam dan menyusuri bumi bagian lain.

Ia tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Sedih, kecewa, marah dan tentu saja ini menyakitkan. Bukan tentang dirinya sendiri, ini begitu menyakitkan untuk Marsha juga.

Hampir empat tahun ia mencari gadisnya ke mana-mana, berkunjung ke satu tempat lalu ke tempat lainnya, mencari setitik informasi yang ada, ia gila, ia hampir gila. Ternyata, orang yang selama ini ia cari, memang berniat hati untuk bersembunyi dan dirinya hanya akan keluar setelah ia selesai dengan persembunyiannya.

Azizi punya anak, itu adalah fakta yang berhasil memukul kepalanya begitu kencang. Kata Marsha, usianya sudah tiga tahun, tadi siang ia bahkan mendengar suaranya dari telepon dan anak itu begitu atraktif sekali, pasti tampan juga, Azizi pernah lihat sekilas dari wallpaper milik Marsha.

"Sha, pasti ada alasannya."

"Aku cuma enggak mau ngehancurin mimpi kamu." Ungkap Marsha tadi siang.

Alasan macam apa itu? Kenapa gadis itu tak pernah mengerti bahwa semua yang Azizi sebutkan tentang mimpinya kembali lagi kepada Marsha, apa Marsha ingin ikut atau tidak, Azizi juga tidak akan pergi jika Marsha tidak mengizinkannya, lagi pula, mimpi terbesarnya bahkan bukan itu.

"Kamu ceritain semua mimpi kamu dengan menggebu-gebu, kamu cerita mau jadi apa, mau jadi bagaimana, aku dengerin. Kamu bahkan baru memulai mimpimu dan menurutmu, apa yang terjadi kalau aku bilang aku hamil detik itu juga? Aku bakal ngehancurin kamu, Zi. Aku tahu, punya anak di usia 23 tahun itu bukan salah satu dari impian kamu, aku sama anakku cuma bakal jadi penghancur semua mimpi yang lagi kamu rancang. Dan aku enggak mau jadi beban kamu."

Azizi mengembuskan napasnya mendengar itu.

"Begitu?"

"Ya, begitu."

Azizi tertawa hambar dengarnya. Sekarang ia merasa dirinya adalah pecundang tak berguna di mata keluarga Marsha juga putranya.

"Dan kamu berpikir aku bakal merasa mimpiku hancur kalau kamu bilang waktu itu kamu hamil? Sha, serendah itu kah aku di mata kamu?"

"Aku cuma berkaca dari pengalamanku aja. Aku bareng-bareng sama Aldo itu lama, lima tahun. Dan di akhir cerita aku sama Aldo, Aldo bilang kalau dia belum menemukan kebahagiaan apapun dengan aku. Lalu aku lihat kamu, Zi. Kita bahkan bareng-bareng belum lama, baru beberapa bulan. Peluang aku ditinggalin sama kamu bakal lebih besar, dari pada aku mendapatkan kenyataan kayak gitu, lebih baik aku mundur dari sekarang dan tetap membiarkan kenangan kita, kita sebut kenangan yang indah, tanpa harus ternoda karena aku bilang aku hamil."

Marsha selalu hidup dengan kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Azizi tidak menyalahkan, tapi, kenapa pula ia harus dibandingkan dengan Aldo. Azizi bahkan merasa dirinya lebih baik dari Aldo ketika bisa mencintai Marsha dan Marsha sadar akan cintanya, kecuali mengetahui bahwa ia berhasil merenggut kehormatan gadis itu di waktu yang tidak tepat.

"Sha, serendah itu ya aku di mata kamu? Aku enggak mungkin ninggalin kamu."

Marsha kala itu menggeleng. "Ya. Tapi, aku hanya terlalu takut. Lukaku yang lama belum sembuh, aku cuma takut dengan semua kemungkinan yang bakal terjadi. Aku takut pada akhirnya kamu enggak menerima anak aku, kalaupun iya, anak aku diterima sama kamu, lalu gimana sama keluarga kamu? Mereka bakal bilang apa? Aku ini dulunya hampir mau jadi sama Aldo, dan di kurun waktu yang enggak lama, aku tiba-tiba hamil anak kamu. Gimana sama mereka? Gimana sama aku? Gimana sama anak aku yang enggak tahu apa-apa? Gimana kalau keluarga kamu mencemooh aku, atau gimana kalau mereka berpikir aku cuma perempuan gampangan yang bisa mau sana-sini, turun dari ranjang satu ke ranjang lainnya? Gimana kalau mereka berpikir keputusan Aldo adalah yang terbaik untuk enggak nikahin aku dan pada akhirnya mereka juga membuat keputusan aku enggak dibolehin sama kamu? Gimana kalau gitu? Zi, pada akhirnya tetap anak aku yang disalahin keberadaannya dan aku enggak mau dia yang enggak tahu apa-apa dapat itu, bahkan sebelum hari kelahirannya terjadi. Aku enggak mau."

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalWhere stories live. Discover now