delapan

1 1 0
                                    

Tawa yang mengerikan. Lama-lama, seluruh aula berubah. Tak ada lagi cahaya jingga yang indah. Dunia ini dengan cepat berbalik keadannya.

Aku menatap sekeliling, lalu saat kembali melihat kedepan, Adi dan mahluk itu menghilang.

Ada apa ini?

Aku meremas kepalaku. Begitu aku mengintip keluar jendela, kulihat mahluk itu sudah berdiri di bangunan lain. Tapi, aku tak melihat Adi disana, ataupun di tempat lain.

Mataku berair. Aku tak pernah siap untuk ini. Tidak pernah!

"Grrr ..."

Aku menoleh. Seekor mahluk seperti serigala tiba-tiba muncul disudut aula. Dia menatapku tajam.

Aku menggigit bibir. Ini gawat. Entah bagaimana, sepertinya aku sudah berpindah. Tapi aku tak menyangka ada banyak mahluk disini. Dan yang paling penting ...

Sebenarnya ... emosi apa ini? kenapa pengaruhnya cepat sekali?

Dengan gemetar, aku meraih tiang bendera yang ada di sampingku. Perlahan aku melepasnya dari tatakan tiang, lalu melepas benderanya juga. Inilah satu-satunya senjataku sekarang.

Aku berjalan pelan menuju pintu. Untungnya, serigala itu tak berkutik. Dia justru duduk dan terlihat menutup mata.

Aku membuka pintu perlahan, dan tubuhku langsung merinding. Seekor ular besar baru saja lewat di depan pintu ini. Kalau kubuka lebih lebar, mungkin tamat sudah riwayatku.

Aku mengambil napas panjang. Kuusap lagi air mata yang masih jatuh di pipiku, meneguhkan hati. Setelah memeriksa, akhirnya, aku melangkah keluar.

Diluar, hari masih terlihat sore. Tapi cahaya matahari menjadi merah. selain itu, bayangan-bayangan yang terbentuk dari cahaya merah ini berwarna hitam pekat.

Ada banyak mahluk diluar sini. Kebanyakan kecil, tapi jumlah mereka banyak.

Aku melangkah pelan menyusuri lorong. Lalu kulihat, seekor mahluk dengan dua tangan panjang terseret muncul di ujung lorong dan bergerak ke arahku.

Buru-buru aku masuk ke sembarang kelas, bersembunyi dibalik daun pintu. Baru saja menghela napas lega, aku menyadari ada mahluk besar yang menatapku dibalik bayangan.

Matanya berwarna merah. Kedua tangannya seperti membawa seonggok tubuh yang sudah terkoyak. Darah menetes dari tangannya, juga dari mulutnya yang penuh deretan gigi tajam.

Aku menahan napas. Dan mahluk itu, justru tertawa melihat ekspresiku yang ketakutan.

Tanganku mendorong pintu perlahan. Mahluk dengan tangan panjang itu bahkan belum melewati kelas ini.

Apa yang harus kulakukan?

Mahluk besar itu bergerak keluar dari bayangan, dan aku bisa melihat tubuhnya yang dipenuhi oleh bulu. Wajahnya dihias dengan dua gigi taring yang tumbuh memanjang. Lalu tangan dan kakinya, berukuran besar dan terlihat tak seimbang dengan ukuran tubuhnya.

Tanganku mengepal. Baik keluar atau tetap disini, nasibku pasti sama. Aku tak bisa lari lagi.

Aku harus melawan.

Haruskah?

Tanganku bergetar. Aku menodongkan tongkatku kearahnya. Mahluk itu semakin dekat.

"Pergi ..." Desisku. Mahluk itu tak menggubris.

"Pergi!!" Aku memukul tangannya dengan tongkatku. Yang tentu saja, tak berefek.

Sialnya, dia marah. Kepalan tangannya menghantam dinding. Aku terpaksa berlari memutari kelas karenanya. Debu dan serpihan berhamburan, mataku jadi perih. Tapi mahluk besar dibelakangku ini masih terus mengejar, memukuli dinding dengan kepalan tangannya.

Apa yang harus kulakukan?!

Dengan air mata yang mengalir, aku hanya berputar-putar di ruangan. Berlari menghindar. Otakku berusaha berpikir, mencari jalan keluar.

"Ahh!!" Aku terjatuh. Kakiku menyandung pecahan bata dari dinding, terluka. Aku segera duduk dan menatap lukaku yang berdebu. Rasanya perih, aku tak akan bisa berlari lagi setelah ini.

Mahluk itu bersorak senang. Tangannya lagi-lagi hendak meraihku.

Air mataku semakin deras. Apa yang harus kulakukan?

Apa aku akan mati?

"Tidak ..." Aku bergumam pelan. "Aku ... tidak mau mati ..."

Aku berdiri. Tangan mahluk itu sempat berhenti ketika melihatku, tapi tak lama kembali bergerak. Saat itulah aku mengayunkan tongkat sekuat mungkin ...

"AKU TIDAK MAU MATII!!!"

Tongkatku menghantam tangannya. Suara berdebum muncul keras sekali, lalu seketika, debu-debu kembali berterbangan.

"BRAKK!!"

Dinding di sebelah kiri retak. Ada sesuatu yang menghantam dinding itu ... Seperti ...

Sebuah ... potongan tangan?

"AAAARRRGHHH!!"

Mahluk itu berteriak. Tangannya teracung ke atas, sudah buntung dengan darah yang mengalir deras.

Dia menatapku yang masih termangu. Aku sendiri tak percaya bisa melakukannya.

Apa ini? Apa yang kulakukan?

Aku melihat kedua tanganku. Sekarang, keduanya dipenuhi aura putih. Tak hanya tanganku, aura itu menyelimuti seluruh tubuhku.

Aku jadi merasa kuat.

Aku merasa ... Aku sudah tidak takut lagi.

Mahluk itu kembali berteriak. Dia marah. Tangan kirinya, satu-satunya yang tersisa sekarang ia hempaskan kearahku.

Kali ini, kueratkan genggaman tongkatku. Aku tak akan menunggu lagi. Kedua kakiku berlari kearahnya.

"HYAAKK...!!!"

Tongkatku menghantam bahunya, membuat suara retakan yang terdengar menyakitkan.

Aku kembali menghantamkan tongkatku padanya. Kali ini, tepat mengenai dada dan perutnya. Mahluk itu terhempas kebelakang, merintih.

Darahnya berceceran dimana-mana. Darah berwarna hitam keunguan yang kental. Aku mendekati mahluk itu. Dia terlihat masih bernapas. Namun, dia terus merintih, kesakitan.

Sekujur tubuhku merinding. Aku tidak tahan melihatnya. Aku tidak tega.

Hanya ada ... Satu cara.

Aku menutup kedua mataku, mengayunkan tongkatku sekeras mungkin pada kepalanya.

Darah hitam menyembur. Perlahan, tubuhnya terurai menjadi partikel-partikel kecil, hingga aku tak dapat lagi melihat sosoknya.

Aku termenung menatap tempat mahluk itu terakhir kali terkapar. Sekarang, dia benar-benar sudah hilang.

Tubuhku bergidik ngeri. Meski air mataku terus mengalir sejak tadi, tapi ini pertama kalinya kurasakan dadaku sangat sesak. Melebihi sebelumnya.

Tubuhku jatuh perlahan. Aku terisak.

Apa aku ... Benar-benar harus membunuh?

Kenapa harus aku ... Aku tidak bisa ...

Aku tidak mau membunuh lagi ...


☬ShiningLina 

The ExterminatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang