dua

7 2 0
                                    

"Sepuluh menit lagi!!"

"Duh!" Tutik menepuk keningnya. "Nomor dua belum nemu, lagi. Din-"

Tutik menoleh kebelakang, tepat saat aku baru berdiri dari kursiku, "Kamu sudah?!"

Aku tersenyum, mengangguk. Dengan adanya soal pilihan ganda, rencanaku jadi lebih mudah.

"Jawaban nomor dua itu speedometer," Bisikku, terus berjalan ke meja guru.

"Oh, oke oke!" Sayup-sayup kudengar suara Tutik yang kembali bersemangat.

Aku menyerahkan lembar jawabanku, lalu berjalan ke pintu seraya menatap seluruh teman-temanku.

Seandainya aku bisa, aku ingin sekali berterimakasih pada kalian.

Karena jawaban di lembar ulanganku tak pernah murni hasilku sendiri.

Saat berpindah, aku akan berkeliling kelas, melihat jawaban semua temanku. Jika ada satu jawaban yang muncul berulang kali, bisa kupastikan jawaban itu benar. Ingatanku juga tidak buruk, aku bisa mengingat lima jawaban pilihan ganda sekaligus dalam sekali contek.

Aku tahu ini curang. Tapi kalau orang lain tidak tahu, tidak apa-apa kan?

"Kutunggu di kantin," aku berbisik pada Risa, yang duduk di barisan paling depan. Risa membalasku dengan acungan jempol.

Jam masih menunjukkan pukul 09.13 WIB, jadi aku melangkah pelan menuju kantin yang sedang sepi-sepinya.

Aku membeli tiga buah pisang goreng dan membawanya ke meja paling sudut.

Sepuluh menit berlalu, kulihat ketiga temanku berlari menyusul. Mereka menghampiriku setelah membeli beberapa camilan.

"Din, aku tahu kamu pintar. Tapi kita jangan ditinggal dong!" Nuri memajukan bibirnya, kesal.

"Maaf ... aku kan, cuma mau mengamankan pisang goreng," Kataku, menunjuk sekantong pisang goreng diatas meja. "Makanan langka,"

"Benar juga, yang ini memang sering habis, sih!" Tutik menimpali. "Omong-omong, makasih jawabannya, cantik. Sangat membantu."

Aku mengangguk, "Makasih juga buat nomor empat," kataku, dalam hati.

"Duuh, Fisikaa...!! susah semua soalnya!" Nuri melahap salah satu ciloknya, menatapku. "Kamu kok bisa cepat selesai, sih?"

"Ya ... dia belajar, Nuri!" Risa duduk di sebelahku, menjawab. "Bedanya, dia masuk di otak. Kamu sih, masuk sebentar terus keluar lagi."

"Hei! Sembarangan!" Nuri melotot, tapi tetap saja tertawa.

"Umm ... Sabtu besok, kalian semua datang ke pentas seni sama bazar itu, kan?" tanyaku, mengganti topik.

"Datang, dong. Eh, Kelas kita mentasin apa, ya?"

"Kamu lupa??!" Nuri melotot. "Aku yang nyanyi loh, ingat??"

"Oh iya," Risa manggut-manggut. "Maafkan kami, soalnya kami tak peduli."

"Ya ampun!" Nuri berteriak gemas. "Jahat banget kalian, ih!"

"Hehe Bercandaa Nurii, bercandaa," Risa mengacungkan dua jari, peace. "Kamu masih pakai lagu dari rencana awal? Bukannya susah tuh?"

"Nggak juga, sih. Aku sudah latihan. Kan ada tekniknyaa ..." Nuri tersenyum sombong. "Yang aku khawatirkan tuh Nino, dia bisa main gitar tidak, sih?"

"Bisa aja mah, kalau sama kamu," goda Risa.

"Eeh, maksudmu, aslinya nggak bisa, gitu?"

"Eh, bisaa. Maksudku, dia pasti lebih semangat kalau sama kamu!" Risa menjawab cepat.

The ExterminatorOù les histoires vivent. Découvrez maintenant