empat

5 2 0
                                    

Kak Dina lenyap.

Seluruh tubuhku bergidik ngeri. Aku yakin sekali, kulihat gelas itu sempat mengambang sebentar sampai akhirnya jatuh ke tanah.

Gelas itu menggelinding hingga menabrak kakiku, membuatku berpikir ...

Bagaimana bisa kakakku menghilang?

Sementara tak ada siapapun pun yang menyadari hal ini. Semuanya sibuk diatas panggung, sibuk dengan siapapun yang pingsan disana. Mungkin ... entahlah, tapi kurasa hanya aku saja yang menyadarinya.

Apa jangan-jangan ini mimpi?

Aku mencubit pipiku. Tidak, rasanya sakit ...

Ini bukan mimpi ...

Lalu ini apa?

Sekujur tubuhku merinding hebat, dan sekarang, air mataku turut tumpah. Aku benar-benar bingung. Kepalaku berdenyut keras sekali.

Semua pasti hanya mimpi buruk. Kak Dina tak mungkin lenyap begitu saja. Tak mungkin ...

Aku memutar tubuhku, kuputuskan pergi ke mana saja. Kak Dina mungkin sedang membantu orang yang pingsan itu, atau mungkin berkumpul dengan temannya, atau ...

"Bruk!!"

"Aww!" Aku meringis. Tubuhku menabrak sesuatu, terjatuh. Sekarang, selain kepalaku yang sakit, tanganku juga terasa perih karena tergores.

"Maaf, kamu nggak apa-apa?"

Aku berusaha duduk, mengusap pipiku yang basah dengan lengan. Aku tak ingin terlihat menangis didepan orang lain sekarang. Sementara orang itu menarik tanganku, membantuku berdiri.

"Tanganmu berdarah ..."

Sejenak aku memperhatikan wajahnya. Rasanya tidak mungkin. Aku tak menyangka dia ada disini.

"Adi?"

Dia menatapku. Keningnya berkerut, "Tahu darimana?"

Buru-buru aku menarik tanganku, menggeleng.

"Kamu melihat bayangan yang berputar itu, kan?"

Aku balik menatapnya, curiga.

"Aku tahu kamu bisa melihat." Matanya menatapku tajam. "Mungkin, kamu tak hanya melihat. Tapi juga bisa berpindah?"

Tubuhku semakin merinding. Kuputuskan untuk mundur selangkah darinya.

"Kamu ... Jangan-jangan ..." Napasku tercekat. "Juga bisa melihat?"

"Iya," jawabnya cepat. "Berarti kau juga?"

Patah-patah aku mengangguk. Tanpa pikir panjang, ia langsung menarik tanganku, bergegas meninggalkan lapangan.

"Eh, mau kemana?!"

Adi tak menjawab. Dia menarikku ke wastafel, menyuruhku membasuh luka.

"Hei ... kamu lihat dia menghilang juga, kan? Kamu tahu sebabnya?" tanyaku, seraya membasuh wajah dengan air.

"Dia diculik," katanya, memberiku kabar buruk. "Aku tak tahu dimana, tapi mahluk itu sepertinya besar."

Tanganku spontan mencengkeram wastafel. Apa maksudmu??

Adi kembali menatapku, sepertinya ia menyadari sesuatu. "Sebentar ... kamu ... Jangan-jangan belum pernah bertarung?"

"Hah?" kedua alisku hampir menyatu, "Bertarung apa??"

Adi termenung. Tak lama, ia mengacak-acak rambutnya.

"Sial ...!" Gumamnya. Dia kembali menatapku, lalu mengulangi perkatannya berkali-kali.

The ExterminatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang