Sebelas

3 1 0
                                    

Ardito memutus sambungan telepon. Ia seketika mengembuskan napas keras, merasa lega karena sesak di dadanya sedikit berkurang.

Semalaman ia tidak bisa tidur. Ia terpekur, memikirkan video kecelakaan dan kegundahan hati sebelum memutuskan untuk menghubungi polisi Gandhi pagi ini. Walaupun kesangsian itu masih ada, Ardito tidak punya orang lain yang bisa dimintai tolong. Saat ini, mungkin hanya polisi itu yang bisa membantunya.

Dari mana kepercayaan itu hadir? Ardito juga tidak yakin. Ia mengandalkan instingnya yang memilih Gandhi. Ia merasa polisi itu baik dan dapat dipercaya.

Sekarang, ia sedang menunggu kabar dari Gandhi agar mereka bisa bertemu.

Ardito berhenti di ujung lorong menuju kamar adiknya dirawat. Dari tempatnya berdiri, ia melihat dokter di depan pintu ruang adiknya bersama pria lain berpostur lebih tinggi.

Dahinya berkerut. Ardito memandangi dua orang yang mengobrol serius. Ia merasa pernah melihat pria tinggi itu. Namun, ia tidak yakin di mana melihatnya. Apakah di kantor polisi atau di pemakaman orangtuanya?

Tepat ketika keduanya menoleh, Ardito kontan menarik diri dan bersembunyi di balik di dinding. Namun, terlambat. Keduanya sudah melihatnya. Ia langsung berderap pergi.

Ardito masuk ke toilet dan bersembunyi di salah satu bilik. Ia menunggu cukup lama. Telinganya terpasang lebar, mendengarkan suara langkah dan obrolan pengguna toilet. Namun, tidak ada tanda-tanda kemunculan sosok itu.

Bahunya yang sempat tegang pun mengedur seketika.

Ardito duduk di closet sambil membayangkan sosok itu... apakah orang itu yang ia lihat di makam orangtuanya? Pria jangkung yang rupanya bak model?

Ardito tiba-tiba tersentak dan bangkit berdiri. Mengapa ia bersembunyi?

Menyadari hal itu membuatnya merasa bodoh. Tidak seharusnya ia berlari dan mengurung diri di dalam bilik toilet. Untuk apa? Bukankah ia tidak mengenal pria itu?

Ardito mengulurkan tangan kanan dan memutar pegangan pintu. Ia keluar dari bilik dan mencuci tangan di wastafel.

Sesaat, ia menatap kaca. Wajahnya berminyak, bitik-bitik hitam bekas jerawat memenuhi pipi. Bibirnya kering, merah kehitaman.

Dia lalu membasuh muka beberapa kali.

Bulir-bulir air menghiasi wajahnya. Dingin air keran tidak berhasil mengusir kantuk sepenuhnya. Matanya memberat. Semalam, ia hanya tidur satu jam di ruang tunggu. Pikirannya tersita oleh rekaman video kecelakaan.

Ponsel di saku celanannya bergetar. Ardito merogoh saku celana dan membaca chat WhatsApp dari Gandhi.

Satu jam lagi aku ke sana.

Delik DolusWhere stories live. Discover now