Dua

8 2 0
                                    


Bunyi mesin motor tersamarkan oleh suara azan subuh yang berasal dari toa-toa masjid dan musala di sekitar. Jalanan di gang itu lengang. Tidak ada kendaraan lain melintas di sana selain dirinya.

Ardito memelankan laju motor. Bulu-bulu halus di permukaan kulit tangan meremang. Semilir angin subuh yang dingin membuatnya bergidik berkali-kali.

Sesampainya di rumah, ia memarkirkan motor di teras. Ia berjalan ke arah jendela berkaca yang ukurannya hampir menyamai ukuran pintu, lalu mengintip dari sela-sela gordeng. Lampu di dalam rumah menyala. Ia menduga orangtuanya sudah bangun.

Ardito bergerak ke pintu dan meraih gagangnya. Terkunci. Berkali-kali, ia memutar gagang pintu, tetapi tetap tidak bisa dibuka. Kali ini, ia beranggapan bahwa bapak dan ibunya belum bangun. Ia lantas merogoh saku celana dan mengambil kunci cadangan. Setelah anak kunci berwarna perak itu dimasukkan ke lubang kunci, ia memutarnya. Bunyi klik pelan terdengar seiring pintu yang terbuka. Tumben kunci nggak dicabut dari dalam? pikirnya.

Ardito mendorong motornya masuk ke rumah, lalu menutup pintu. Biasanya, jika pulang dalam keadaan pengar, ia akan berjalan gontai dan langsung masuk ke kamar. Namun, kali ini kesadarannya utuh. Ia bahkan sempat melihat jam di dinding ruang tamu. Pukul 04.33. Seharusnya, jam segini bapaknya sudah menyambutnya sambil bersedekap. Biasanya, jam segini bapaknya akan mendelik disertai omelan-omelan yang lebih seperti mengatai Ardito dengan suara tinggi—yang disengaja berisik agar terdengar tetangga.

Tidak seperti biasanya, keheningan rumah saat subuh menggugah rasa penasaran.

Ardito membuka pintu kamar orangtuanya. Dengan pelan agar tidak mengundang suara apa pun, ia mendorong daun pintu. Kerutan di dahinya tercetak tatkala ranjang di kamar itu rapi. Ia mendorong lagi agar pintu terbuka lebih lebar. Kerutan di dahinya makin tercetak jelas. Kamar itu kosong. Tidak ada siapa-siapa.

Ardito menutupi pintu, lalu bergerak ke dapur. Kondisi dapur masih sama seperti saat ia meninggalkan rumah kemarin sore. Semua perkakas masak dan makan tersusun rapi di tempat masing-masing. Bahkan di atas meja makan, kosong melompong. Matanya beredar mencari dan menemukan tutup saji menyantel di dinding dapur sebelah lemari piring.

Seandainya bapak dan ibunya sudah bangun dan mungkin sekarang sedang salat subuh di musala, tutup saji berwarna merah gelap itu tentu sudah berada di atas meja makan. Ketika ia mengangkat tutup saji, biasanya, tersedia lauk matang beserta nasi atau mi goreng untuk dirinya dan sang adik sarapan.

Ibunya yang baik selalu membuatkan sarapan untuknya sebelum pergi. Sang ibu yang pengertian juga selalu meninggalkan lauk-lauk matang serta nasi di dalam mejikom untuk dimakan Ardito dan adiknya saat pagi atau siang hari.

Rutinitas itu selalu dilakukan sang ibu sebelum berangkat pukul lima pagi.

Akan tetapi, saat ini, Ardito tidak melihat jejak rutinitas itu. Kesunyian membuatnya merasa aneh.

Apakah bapak dan ibunya pergi lebih awal?

Ardito meragukan gagasan itu. Ia berderap ke kamarnya dan melihat sang adik terlelap di ranjang dalam posisi tidur yang aneh.

Satu hal yang ia pikirkan detik ini: bapak dan ibunya sudah pergi ke warung nasi di pasar.

Ardito mengulas senyum melihat Kayla mengubah posisi tidurnya. Ia berjalan ke ranjang, kemudian memperbaiki posisi tidur sang adik supaya kepalanya tidak menekuk dan sakit ketika bangun nanti. Ia lalu merebahkan diri di sebelah bocah perempuan berusia enam tahun itu.

Ardito menatap langit-langit ruangan. Samar-samar, telinganya menangkap suara rapalan doa yang berasal dari toa musala—berjarak dua ratus meter dari rumahnya. Kantuk mulai mendera. Ia menguap lebar sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya.

Perlahan, ia terpejam. Kesadarannya mulai memudar.

Ardito merasa baru lima menit terlelap, guncangan hebat di tubuh membuatnya tersadar.

Dengan mata setengah terbuka, ia melihat wajah bulat seorang wanita yang ia kenal. Wanita itu terus memukul-mukul kaki Ardito sambil menyuruh pemuda itu segera bangun.

"Ada apa sih, Bu?" tanya Ardito lirih. Ia bangkit dan duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gatal. Matanya masih memberat.

"Orangtuamu dan Kayla!" pekik wanita itu panik. Suaranya terdengar sedikit gagap. "Me-mereka kecelakaan!"

Delik DolusWhere stories live. Discover now