Delapan

3 0 0
                                    

Motor hitam itu berhenti. Tanpa mematikan mesin, si pengendara berjaket hijau daun itu mengambil ponsel yang direkatkan di kotak kilometer, sementara seorang perempuan muda di belakang turun dan melepaskan helm.

"Makasih, Bang," ucap Rosita sambil mengangsurkan helm.

"Tolong kasih bintang lima yang, Mbak," kata si pria ojek online yang terlihat lebih muda dari Rosita.

Rosita mengangguk, lalu bergerak masuk ke indekos. Tepat ketika kakinya menapaki anak tangga pertama, sebuah suara menghentikannya. Ia menarik kaki dan menoleh ke asal suara.

"Kak Ros. Tadi siang ada yang nyari." Perempuan mungil itu melapor.

"Siapa?"

"Eca nggak tahu pasti, sih. Tapi melihat dari penampilannya, dia seperti polisi. Aduh, apa ya sebuatannya? Hm... Intel!"

"Intel?" Rosita mengulang dengan pikiran mengawang.

Eca manggut-manggut. Poninya yang rapi bergerak-gerak. "Kak Ros diminta segera menghubungi dia." Ia kemudian mengulurkan ponsel yang langsung diterima Rosita.

Rosita menyalin sebaris nomor di ponselnya.

"Makasih ya, Ca." Rosita mengembalikan ponsel Eca.

Rosita tidak langsung menghubungi nomor yang ia simpan dengan nama kontak Gandhi. Ia memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi karena merasa kelelahan. Satu jam berlalu dan saat ia sedang memakai cream wajah, ponselnya bergetar. Sebuah chat WhatsApp muncul di layar.

Hotel S

Rosita melirik tak minat dan mengabaikan chat tersebut. Ia melanjutkan memakai cream malam sambil memandangi wajahnya yang murung di kaca. Lebam samar tampak di sudut bibir kanannya.

Di meja, nada getar ponsel terdengar lagi.

Aku kangen!

Chat itu membuatnya tersenyum sinis. Ia masih tak mempedulikan dan terus memakan cream wajah. Kemudian, rentetan chat dari pengirim yang sama muncul di layar ponsel.

Aku cinta kamu!

Aku sudah ngomong ke Ayah soal hubungan kita!

Ayah mau bertemu kamu!

Ayo bertemu.

Aku nggak akan pergi, sebelum kamu ke sini!

Rosita bergeming. Matanya terpaku ke layar ponsel. Sebuah ingatan membawanya kembali pada perlakuan-perlakuan kasar pria itu padanya. Ia tidak tahu di mana letak cinta seperti yang diungkapkan pria itu barusan.

Karena ponselnya terus bergetar, Rosita mengambilnya dan mengetik balasan.

Otw.

Rosita memandangi pantulan wajahnya di cermin. Lebam di sudut bibirnya membuat darahnya mendidih. Ia selalu teringat kesakitan yang diberikan pria itu. Tamparan, pukulan, tendangan, jambakan... Ia mengingat saat pria itu menempelkan ujung rokok di paha kirinya. Bara rokok meninggalkan bekas kehitaman di paha mulusnya.

Rosita teringat ucapan Eca tentang polisi yang mencarinya, Ia pun langsung menelepon.

Pada nada sambung ketiga, suara berat pria terdengar dari seberang telepon.

"Saya Rosita. Apakah Bapak dari Polres?"

"Oh. Halo, Mbak Rosita. Iya, benar. Saya dari Polres."

"Apakah LP saya sudah diproses?"

"Iya. Apakah kita bisa bertemu?"

"Besok siang saya akan ke Polres."

"Oh, jangan di Polres. Bagaimana kalau di Kafe Jalan Kenari?"

Rosita mengerutkan dahi. Sesaat, kesunyian menyergap. "O.. oke," katanya skeptis.

"Baik. Jam dua belas siang ketemu di sana, ya."

Pangilan telepon berakhir. Rosita memandang layar ponsel dengan bingung. Ia bertanya-tanya mengapa polisi itu meminta bertemu di luar, alih-alih di kantor polisi?

Ponsel bergetar lagi. Pria itu mengirimi chat.

Kamu sudah sampai mana?

Rosita mendengkus kesal. Ia menaruh ponsel di meja, lalu bersiap-siap pergi.

*

Gandhi menatap layar ponselnya. Ia merasa lega karena akhirnya Rosita menghubunginya. Namun, ia masih bingung bagaimana menjelaskan bahwa LP wanita itu tidak diproses.

Cukup lama Gandhi mendebat dengan pikirannya. Ia mencari pertanyaan yang sekiranya akan ditanyakan Rosita.

Kalau memang tidak diproses mengapa surat Laporan Polisi dibuat? Mengapa petugas di SPKT mengatakan pada Rosita agar wanita itu menunggu kabar selanjutnya? Mengapa kalau tidak bisa diproses, petugas memverifikasi surat bukti visum yang ia lampirkan?

Gandhi memikirkan jawaban jika seandainya Rosita melayangkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Apakah ia harus berbohong?

Gandhi menggeleng. Rosita tidak mungkin menelan bulat-bulat kebohongannya.

Kesal tidak menemukan jawaban yang logis, ia pun mengerang sambil meremas rambutnya.

Mendadak, wajah sang komandan muncul di benaknya. Gandhi tertegun. Ia menjauhkan tangan dari rambut dan menatap pintu ruangan atasannya.

Ia teringat siang tadi saat kembali, komandan keluar dari ruangan bersama seorang pria paruh baya. Melihat keintiman keduanya membuat Gandhi menduga-duga.

Apakah pria paruh baya itu yang membuat komandan mengambil Laporan Polisi Rosita?

Gandhi manggut-manggut. Dugaannya terdengar masuk akal. Sebab, pria tua itu adalah ayah dari orang yang dilaporkan Rosita.

Delik DolusWhere stories live. Discover now