Acel duduk bersampingan dengan Bevan. Tetap ada jarak diantara mereka karena Bevan duduk di tengah sofa sedangkan Acel yang lagi ngambek duduk di pojok sofa.

"Kak, jangan boongin gue," Seru Acel melirik Bevan sinis.

"Gak ada yang bohong. Aku beneran gak tahu kalo Gavin udah pulang," Jawabnya sama seperti awal.

"Ck, Marvel yang kasih tahu gue."

"Ya udah tanya ke Marvel lah. Ngapain tanya ke aku?"

"Arghh, gue cuman pengen ketemu Vanya."

"Lo terlalu gegabah buat masalah ini, Cel." Bevan kembali mengubah-ubah panggilannya jadi lo-gue.

"Kenapa semua orang nyudutin gue soal itu?" Tanyanya menelungkup kan kepala ke tangan sofa.

"Mental Vanya itu lagi gak baik-baik aja. Kalo lo ketemu dia, terus Vanya ngeh bentar lagi lo sama Farel nikah. Apa yang akan dia rasain? Dia bakal menganggap lo sahabat termunafik seumur hidup," Jelas Bevan melipat kedua tangan didepan dada.

"Gue sadar disini penempatan gue salah. Tapi jalan hidup gue sama Vanya gak beda jauh," Ucap Acel mulai sedih.

Perempuan itu menengadahkan kepala di sandaran sofa. Masa lalu Acel tidak berbeda jauh dengan Vanya. Setelah tahun itu berlalu, cinta hadir diantara Acel dan Farel. Mereka saling memaafkan satu sama lain walaupun awalnya Acel tak terima dengan hidupnya.

"Orang tua lo udah tenang di atas sana. Pelaku kecelakaan itu juga udah menyerahkan diri kan? Tapi karena lo paham gimana rasanya hidup tanpa orang tua, lo cabut tuntutan mereka."

"Gue sebenernya benci sama mereka, kak. Tapi karena Farel, gue diem."

"Jauhin Farel kalau lo terpaksa."

"Setelah rahim gue diangkat, siapa yang mau jadi suami gue nanti?"

"Udah berat juga kalo gue suruh kalian sama-sama menjauh. Lo cinta sama Farel, Farel juga cinta banget sama lo."

"Ya. Bener kata orang, cinta datang seiring berjalannya waktu," Acel menoleh menatap Bevan serius.

"Aden, Non, ini tehnya. Bibi bawain biskuit juga."

Pelayan itu menaruh dua gelas teh dengan sepiring biskuit rasa keju dan coklat di meja depan mereka duduk. Acel mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut sebelum beliau kembali.

"Minum, pagi-pagi gini enaknya minum teh hangat," Bevan menyeruput teh miliknya.

•••••

Elen terbangun pukul 06.35 wib. Jantungnya berdetak tak karuan bingung dengan keadaan sekitar. Ini bukan rumahnya. Elen berdiri di atas kasur. Ia melihat ke sana kemari saking luasnya kamar yang semalam ia pakai untuk tidur.

"P-pa..." Panggil Elen kecil.

"Papa di-dimana?" Pelan-pelan Elen turun dari atas kasur.

Sampai di pintu, anak itu dibuat bingung lagi. Ia tak tahu bagaimana cara membuka pintunya.

"Mama..." Matanya mulai berair.

Tangan mungil itu berusaha menggapai handle pintu. Ketika berhasil, Elen menarik handle kebawah. Untung bisa tanpa password.

Keluar dari kamar, Elen meneguk saliva susah payah. Lorong? Dia ada dimana sih? Tempat ini bagus, tapi kenapa harus berhadapan dengan lorong sepi?

Siapapun, tolong bantu Elen menemukan Papanya.

Tak mau berlama-lama diam, Elen terpaksa jalan melewati lorong itu. Gak panjang sih, cuma was-was aja. Semua begitu asing di mata Elen.

Disisi lain, Kara harus segera berangkat ke puncak sebab ia ada janji dengan teman-teman kuliahnya di sana. Gadis itu sibuk mengecek barang yang ada di dalam tas.

HER LIFE - END (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now