20. Polaroid dan Si Penengah

20 6 0
                                    

- Jihye

Sejak malam itu, seharian penuh ini Seungbin mengabaikan kami berdua. Apalagi dia berkali-kali menghindar setiap kali aku maupun Namhyuck mencoba untuk menghampirinya.

Namhyuck sampai mengelus dadanya seraya berkata, "Biarkan saja, Jihye. Beri dia waktu untuk sendirian. Rencana kita membuat mereka akur itu bagus. Kupikir dia merasa terkhianati karena kita tidak mengikuti rencananya."

Aku menghembus napas gusar. Sementara aku merasa Seungbin mungkin kecewa denganku karena aku berusaha menyanggah teori dan anggapan tentang hubungan pertemanan lamanya, yang kuasumsikan karena miskomunikasi.

"Saat kau mengejarnya semalam, apa ada sesuatu yang dia katakan?" tanyaku demi mengusir rasa kalut di hati.

Pemuda tambun itu menggeleng-geleng, kemudian bertanya frontal.

"Aku tak mengerti, kenapa dia berlari begitu? Aku tak terlalu menyimak obrolan kalian. Apa yang kau dan Ilkwon bilang?"

"Waktu itu aku melihat matanya berair setelah Ilkwon bilang ingin membantunya kalau dari awal dia mau terbuka."

Namhyuck berdeham panjang.

"Begitu ya. Selain itu apa yang dia katakan pada Seungbin?"

"Namhyuck, Kau ingat ketika kita menjumpai Ilkwon kemarin?" Pemuda tambun itu mengangguki pertanyaanku.

"Kalau kau menyadarinya, raut wajah laki-laki itu berubah saat aku menceritakan persoalan sepupuku. Dan dugaanku benar, dia akhirnya mengakui kesalahannya dan minta maaf pada Seungbin!" seruku di penghujung kalimat yang justru membuat Namhyuck tersentak dari kursinya.

Pemuda yang duduk di depan mejaku ini sesaat kemudian terkekeh, membuat kedua pipi tembam itu mengembang beberapa inci. "Daebak (Hebat)! Kau benar-benar peka, Jihye!"

"Aniyaa (Tidak), aku tidak sepeka itu."

"Iya, hal sekecil itu kau bahkan menyadarinya." Belum sempat aku menanggapi, guru bahasa inggris rupanya sudah memasuki kelas.

Begitu pemuda itu beranjak, dia spontan berkata, "Sebaiknya kita jangan terlalu ikut campur sama urusan mereka, Jihye. Semoga kecanggungan ini segera berakhir."

Dan aku hanya mengangguk-ngangguk setuju bila mengingat percakapan kami pagi itu di ruang kelas.

Sisi baiknya, pembelajaran sekolah dan ekstrakulikuler yang kulalui berjalan lancar sebagaimana mestinya, hanya saja tanpa kehadiran Seungbin yang suka mengusik jadi sedikit lebih berbeda. Seperti memperdebatkan perkara sepele sampai meributkan hal-hal kecil dengannya.

Entah kenapa, memori empat hari lalu bersama Seungbin terasa begitu mengesankan. Dari awal kami berjumpa yang nyaris merenggut nyawa hingga kesehari-harian konyol di sekolah.

Meski dari awal aku tidak ingin berhubungan dan melabeli dengan "sebatas sepupu jauh", justru semakin mengenalnya dan mencoba mengakrabkan diri hal itu membawa perubahan yang berarti.

Terutama perubahan sikapnya.

Bahkan Yeonji bercerita padaku kalau kebiasaan kakak laki-lakinya di rumah mulai sedikit berubah. Gadis mungil itu justru senang dan mengaitkan perubahan itu karena kehadiranku dalam hidup mereka. Syukurlah, aku menepati perkataanku tempo lalu dan tidak menyangka tindakan kecilku untuk membuka relasi dengan Seungbin berdampak cukup besar.

Esok harinya juga begitu, dia bagaikan patung berjalan. Tanpa menggubris sapaan kami sekalipun dan bersikap sangat cuek dari biasanya. (Kuasumsikan dia sedang merajuk). Kalau dia masih meneruskan ini, dengan berat hati janjian untuk bekerja barengan yang aku usulkan weekend nanti kubatalkan.

Du har nått slutet av publicerade delar.

⏰ Senast uppdaterad: Feb 04 ⏰

Lägg till den här berättelsen i ditt bibliotek för att få aviseringar om nya delar!

We Come And GoDär berättelser lever. Upptäck nu