13. Demi Hidup Ayah

49 8 0
                                    

- Seungbin

     Selesai makan malam, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Karena aku mulai berubah pikiran tentang gadis itu, jadi aku langsung menawarkan tumpangan padanya lantaran rumah kami beralamat yang sama.

Kulihat sepertinya Namhyuck tersenyum padaku yang mungkin dari balik senyuman itu seakan menyiratkan, "Itu baru jantan namanya, bro!" Dan untunglah Jihye menerima tawaranku secara sukarela.

     Dari sini, aku dan Namhyuck pisah jalan. Dia melesat dengan vespa merahnya ke arah kanan sedangkan aku dengan motor sport hitamku melesat ke kiri. Dari kaca spion, Jihye yang berada di belakang tampak sedikit ketakutan begitu aku menaikkan kecepatan motorku lalu membelah jalanan raya yang dilalui oleh roda empat.

     Ternyata membonceng gadis satu ini jauh lebih merepotkan daripada membonceng adikku sendiri.

Ketika mengingat obrolan beberapa saat lalu di tenda, cukup membuatku tercengang. Aku tak menyangka Jihye sedikit memberikan respect kepadaku, dan bersimpati apa yang telah aku alami dulu. (Walau sejujurnya aku tidak menyukai cara Namhyuck menceritakan bagaimana kisahku dengan Ilkwon di depannya).

Entah gadis ini mencoba untuk menghargai orang atau berusaha mengorek informasi dan membeberkan kepada keluargaku untuk membalaskan dendamnya. Tetap saja aku harus waspada, tak peduli apapun motifnya.

     Sesampainya di perempatan jalan, lampu merah pun menyala.

     Ketika mengerem mendadak, tiba-tiba kedua lengan melingkari perutku. Entah kenapa aku merasa sedikit tergelitik dan kupu-kupu seakan menari-nari di dalamnya. Di saat yang bersamaan jantungku berdegup kencang ketika kedua lengan Jihye kini memeluk pinggangku erat. Dari balik helm, aku mengulum bibir. Lalu kembali menggas motor saat lampu hijau menyala.

     Astaga! Lama-kelamaan aku bisa gila!

     Setelah berkendara sekitar lima belas menit, akhirnya tiba di sebuah kompleks perumahan dan berhenti tepat di depan rumah berwarna putih kecoklatan dengan pintu pagar kayu yang terbuka setengah. Kulirik Jihye lewat kaca spion, raut wajahnya berubah agak pucat usai membawanya bermanuver di jalanan raya. Pelukannya pun terlepas dari pinggangku dan meninggalkan jejak di sana. Rasa hampa.

     Dia lantas turun seraya berkata dengan nada begitu lirih, "Gomawo, Seungbin."

     Aku membuka pelindung kaca helm-ku, menatapnya lalu mengangguk. Sementara Jihye hanya tersenyum kaku lalu berbalik menuju pintu pagar. Dia terlihat begitu lemas, sepertinya karena kubawa melaju di atas motor.

     Aneh, bukannya meninggalkan tempat lalu melesat satu blok dari sini aku justru merasakan sesuatu hingga bibirku yang tersekat helm tiba-tiba berseru, "Ngomong-ngomong, terima kasih untuk traktirannya, Jihye!

     Sial, kenapa aku harus mengatakan itu?!

     Dia seketika menghentikan langkah, berbalik badan. Ekspresinya agak terkejut usai aku berseru barusan. Sambil menyampirkan tali ransel yang longgar ke pundak, Jihye kemudian merespon. "Tidak masalah, senang  bisa berbagi pada orang lain. Terutama pada keluargaku sendiri."

Ada jeda di antara kami untuk beberapa saat.

"Kau tahu Seungbin, tak ada salahnya untuk bercerita mengenai masalahmu pada keluargamu sendiri. Jika tidak bisa, minimal kau bisa bercerita ke salah satu orang yang bisa dipercaya," katanya lembut. Dia berbicara seolah kehabisan tenaga. Namun, memancarkan tatapan teguh dan penuh perhatian hingga tanpa sadar aku mengedipkan mata berkali-kali.

Lalu tak lama kemudian dia beranjak dari tempat, melewati pintu pagar hingga menghilang dari balik pintu rumah.

     Motor belum juga bergerak. Di tengah kesenyapan malam ini, aku menerawang perkataan Jihye yang membuatku berpikir. Apakah dia sepenuhnya menganggapku sebagai keluarga atau sekadar pernyataan hipotesis yang tak berdasar?

We Come And GoWhere stories live. Discover now