48. I Know Myself Better When I'm With U. [Song Bora]

70 7 0
                                    

Awalnya, Joshua mau mengantarku ke rumah sakit sambil ikut menjenguk Ibu selepas makan siang, tapi hujan tiba-tiba turun deras. Jadi kami harus menundanya sampai hujan reda.

Aku terduduk memeluk lutut di depan jendela kaca apartemen Joshua yang besar dan membiarkan tirainya dibuka lebar. Kacanya berembun. Suara gemericiknya sampai terdengar ke ruangan. Joshua sedang pergi ke dapur untuk meracik minuman coklat panas andalannya.

Memandangi hujan dari tempat teduh memang hal terbaik. Aku bisa merasakan pemandangan yang sejuk tanpa perlu ikut basah. Konsistensi bunyi serbuan air menyentuh tanah juga tak kalah menyenangkan. Seperti terapi musik untuk meredam setiap keresahan di kepala.

Tidak ada petir juga, jadi tidak menakutkan.

Joshua kembali dari dapur dan duduk di sampingku, turut menekuk lutut setelah menaruh dua cangkir coklat panas nan harum di depan kami. Sisi tubuh sebelah kanannya berdempet dengan sisi tubuh kiriku. Aroma parfumnya yang hadir disela harum kayu manis dari minuman coklat membuatku mendadak berdebar-debar. Berdebar, saat menyadari bahwa kami sudah makin terbiasa dengan berbagai kontak fisik. Kami bahkan.. berciuman hari ini.

Kadang, aku menemukan diriku yang lain saat bersama Joshua. Aku yang cengeng. Aku yang diam-diam sangat suka dipeluk (asal kamu tahu, aku bahkan tidak pernah memeluk adik laki-lakiku sendiri setelah beranjak dewasa karena merasa risih). Aku yang bergantung pada seseorang. Aku yang ingin terlihat cantik di depan seseorang seperti gadis pada umumnya. Aku yang bisa dengan cepat menyadari gestur Joshua yang memiringkan wajahnya, mendekat, menatap lekat-lekat bagian bawah wajahku dengan senyum tipis, lalu aku tak lagi ragu untuk turut menepis jarak agar bibir kami cepat-cepat bertemu. Ternyata aku bisa jadi seagresif itu.

Oh. Pikiranku.

Kusesap pelan minuman coklatku, berharap perasaan dan pikiran yang membuncah ini teredam tenang. Hangat, sedikit pahit bercampur manis, lembut, harum.

"Enak," pujiku singkat.

Joshua tersenyum puas mendengarnya, lalu dengan semangat menjelaskan bahan-bahan yang dia masukan ke dalamnya -- benar saja, dia mencampurnya dengan sedikit serbuk kayu manis. Aku mendengarkannya meski tidak begitu paham. Yang jelas, senyumnya hangat seperti minuman coklat ini.

Tatapannya beralih pada pemandangan hujan di luar sana. Senyumnya memudar perlahan. Ia mereguk minumannya tanpa melepas pandangannya dari sana.

"Aku jarang nontonin hujan kayak gini sebenernya. Kalo nontonnya sendirian tuh rasanya kayak.. sedih aja."

Kutatap profil samping wajahnya. Tatapannya kelam tanpa senyuman.

"Bukannya Joshua seneng hujan-hujanan ya?"

Ia melirikku dan terkekeh. "Iya. Mending hujan-hujanan di luar aja sekalian. Seenggaknya bisa ketemu orang-orang. Ah, gimana ya? Aku nggak masalah sih, sendirian. Aku cuma cenderung berusaha ngehindarin hal-hal yang bikin aku ngerasa kesepian."

Aku manggut-manggut pelan, menyesap kembali minuman coklat beraroma cinnamon di genggaman.

Bagiku yang selalu berhadapan dengan masalah finansial, mudah saja menyimpulkan bahwa orang kaya -- atau setidaknya berkecukupan -- itu tidak punya masalah. Nyatanya, masalah pasti hadir di setiap level sosial. Bentuknya mungkin tak sama, tapi bisa saja tingkat keresahannya tidak jauh berbeda. Singkatnya, aku cenderung meremehkan keresahan orang seperti Joshua.

Aku ingin belajar lagi cara memahami perasaannya. Perasaan yang sebenarnya ia rasakan, maksudku. Bukan sekedar membaca situasi. Joshua selalu tersenyum, bahkan dalam situasi tersulit. Sejujurnya, aku masih sulit memastikan apa dia baik-baik saja atau tidak.

I DESERVE UWhere stories live. Discover now