41. It Has To Be U And Me; No One In Between. [Joshua]

82 11 2
                                    

Woah, I never expect such a cozy studio apartment-look on this second floor of seafood restaurant, for real.

Memang tidak seluas apartemen studio mewah Seungcheol sih, tapi tata ruang dan pemilihan warna interiornya.. jeez, looks so classy. Langit-langitnya tinggi dan memberi kesan luas. Dan entah bagaimana Bibinya Bora mengatur letak ventilasi di shophouse ini sampai nyaris tidak ada bau amis seafood yang bocor dari lantai bawah ke tempat tinggalnya ini.

"Diminum tehnya, nak Joshua."

Bibi yang kembali dari dapur minimalisnya dengan secangkir teh hangat, seketika menarik atensiku dari interior rumahnya yang memanjakan mata ini.

"Ah, makasih Bi."

"Ya. Santai aja, ya? Anggap aja rumah sendiri, ah, biarpun mungkin studio kecil Bibi ini nggak sebanding nyamannya sama rumahnya Joshua, ya?"

Ah, Bibi terlalu merendah. Kugelengkan kepala cepat-cepat. "Nyaman banget kok, Bi. Ini cocok banget dipake santai, dipake ngadem. Suatu kehormatan juga buat saya dikasih kesempatan makan seafood di tempat senyaman ini."

Seketika Bibi menatapku takjub. "Aigoo aigoo! Halus banget cara ngomong kamu, aigoo. Jaman sekarang nih, jarang-jarang ketemu anak muda sesopan ini."

Kupicingkan mataku sambil manggut-manggut. "Ah, iya, saya juga sering denger itu kayaknya."

Lantas Bibi terkekeh renyah. "Sampe humor kamu aja sebagus ini. Astaga, gimana bisa manusia sesempurna ini?" satirnya.

Humor Bibi juga tak kalah kerennya, haha.

Diam-diam, kuhembus napas lega disela tawa kecilku. I'm slightly nervous now, to be honest. Like, I've just take one step closer towards Bora's privacy today-- unexpectedly. Sedikitpun tidak terpikir olehku untuk menginjakkan kaki di apartemen studio Bibi hari ini. Aku hanya kebetulan berkunjung ke restoran ini karena sedang ingin makan seafood, bahkan aku sempat lupa tentang janji Bibi Bora yang akan menyuguhkan King Crab gratis untukku.

Bibi duduk di sofa seberang saat aku mereguk teh hangat yang disajikannya. Menatapku dengan senyum tipis.

"Pasti susah ya, kalo ngobrol sama keponakan Bibi?" tiba-tiba nada bicaranya berubah lebih serius. "Tau sendiri, dia itu dinginnya kayak gelutukan es batu Antartika. Dipikir-pikir ya, nak Joshua ini bertolakbelakang banget sifatnya sama Bora. Maaf ya, kalo itu menyulitkan nak Joshua."

Lagi-lagi kugelengkan kepalaku. "Sama sekali nggak sulit kok, Bi," -- ya, setidaknya sekarang begitu. "Bora juga.. nggak sedingin yang saya pikirin sebelumnya. Kalo udah deket, keliatan kalo sebenernya, dia itu tipe yang peduli banget sama orang-orang yang dia sayangi."

"Bener, bener. Biar dingin, hatinya baik, kok," timpal Bibi, raut wajahnya tampak sentimental. "Wajar sih, anak itu udah ngalamin banyak kesulitan-- nggak, nggak.. dia memang terbiasa tumbuh dengan kesulitan. Aigoo, malangnya Song Bora. Jadi, makasih ya nak Joshua, udah mau nyayangin ponakan sulungnya Bibi."

Ucapan terakhir Bibi membuatku mendadak malu sendiri. I'm not even a big help for her tho. Bahkan aku tidak pernah sepenuhnya tahu masalah yang sedang membebani bahunya sekarang. She just able to stand strong by her own effort.

"Saya yang beruntung Bi, bisa deket dan sayang sama gadis secantik, sekuat, dan sekeren keponakan Bibi."

Makin malu karena secara tak sadar -- lagi-lagi -- kuungkapkan isi hatiku yang sedang membuncah di depan orang lain.

Bibi terkikik. "Aish, nak Joshua ini, dasar mulut madu."

Untung saja Bibi hanya menganggapnya sebagai basa-basi manisku.

I DESERVE UWhere stories live. Discover now