PINDAH?

9.1K 447 24
                                    

Seusai makan bersama di sebuah rumah makan lesehan dengan menu makanan yang cukup memanjakan lidah mereka, kini pasangan yang tengah saling melepas rindu itu berada di pantai, dengan tangan yang saling menggenggam, mereka berjalan berdampingan, memanjakan telapak kaki mereka dengan berjalan di atas pasir tanpa alas kaki.

Angin pantai yang bertiup kencang, seolah tidak mengurungkan niat mereka untuk tetap berjalan menyusuri sisi pantai di temani oleh langit sore yang cerah.

Rama berkali-kali mengucap syukur kepada yang maha pencipta karena di persatukan oleh Aila, denan orang yang di cintainya ia berharap agar dirinya bisa tetap sehat agar bisa mendampingi Ning Aila kesayangannya sampai waktu mereka habis.

Rama sedikit tidak rela saat Aila melepaskan genggaman tangan mereka. Istrinya itu berlari menyentuh air pantai yang dingin seraya tertawa setiap kali pakaiannya basah terkena airnyang terbawa ombak.

Rama menggelengkan kepalanya, tawa Aila menular kepada Rama. Tanpa aba-aba, ia langsung menggendong tubuh istrinya dengan ala brydal. "MAS!!" Aila memekik, lalu kemudian tertawa saat Rama sengaja membawa tubuhnya berputar-putar.

"Jangan basah-basahan sayang. Kita nggak bawa baju ganti lho."

Aila mengangguk. "Lain kali kita bawa baju ganti ya Mas?" tanyanya seraya mengeratkan pegangannya pada leher suaminya.

Rama terkekeh. "Iya sayang." ucapnya. Ia menatap lekat wajah istrinya yang masih tertutup cadar berwarna abu-abu.

"Kenapa Mas?" tanya Aila.

Rama menggelengkan kepalanya. "Gapapa. Mas merasa bersyukur aja bisa berada di titik seperti ini sama kamu, orang yang Mas cintai. Dulu, bahkan bermimpi bisa kaya gini aja rasanya Mas gak mungkin Ning."

Aila menatap kedua mata suaminya yang mulai berkaca-kaca. Hatinya terenyuh, ia menyadari jika semua yang terjadi di hidupnya sebelumnya bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir.

Keputusan sepihak Babanya yang ingin mereka berdua menikah juga rupanya adalah takdir.

Aila tidak tahu saja, alasan sebenarnya Babanya itu menikahkannya dengan Rama karena ia tahu saat itu Arlinda terang-terangan ingin menikahi Rama. Baba Ikmal yang sudah tahu seperti apa Rama selama ini, tentu saja menyayangkan jika Rama harus menikah dengan Arlinda seseorang yang jauh dari agama.

Saat itu ia berpikir, daripada harus dengan Arlinda, kenapa Rama tidak menikah dengan putrinya saja?

Maka, terjadilah perjodohan sepihak itu, karena ketidakrelaannya Baba Ikmal jika harus melihat Rama bersanding dengan orang lain.

Rama menolak Arlinda bukan karena tidak tertarik kepada wanita penuh ambisi itu, tapi karena sejak dulu ada satu nama yang bersemayam di hatinya. Nama itu, adalah Myiesha Aila Rizqiyana. Seorang Ning, yang merupakan anak dari Kyai Ikmal, gurunya sendiri.

"Mas sayang kamu Ning. Sayang sekali, doakan Mas agar tetap sehat ya, biar kuta bisa sama-sama terus."

Aial mengangguk. "Doakan aku sehat terus juga ya Mas. Terima kasih banyak ya Mas, sudah hadir dan memberiku banyak cinta. Terima kasih juga, sudah menjadi suami, dan imam yang baik dan tidak pernah lelah bersabar menghadapi aku."

"Iya sayangku." setelah itu, Rama menurunkan Aila, dan kemudian di temani oleh embusan angin, serta debur ombak pantai, kedua manusia itu saling memeluk, mengutarakan perasaan cinta dan sayang yang tumbuh semakin besar setiap harinya.

Benar, takdir Tuhan tidak pernah bisa terduga.

Siapa sangka, Aila yang justru mencintai Dokter Reza, malah berakhir jatuh cinta mati-matian kepada seorang pria bernama Ramadhan Althaf Bayu.

*****

Setelah selesai shalat isya berjamaah, kini Aila dan Rama duduk di atas sofa ruang tengah rumah mereka, dengan Aila yang duduk di pangkuan Rama yang memeluknya dari belakang.

"Sayang?"

"Hm, kenapa Mas?" tanyanya yang merasa nyaman bersandar pada dada bidang suamimya.

Rama menghela napas. "Kamu nggak mau kita resepsi Yang?"

Aila mendongkak, menatap wajah suaminya dengan kening yang mengerut. "Mas mau kita resepsi aja?"

Rama mengusap surai hitam Aila dengan lembut. "Tadi di perjalanan, Baba sempat tanya hal ini kepada Mas."

Aila menghela napas. "Nanti aku yang bilang sama Baba. Kita sudah membahas ini dua bulan lalu lho Mas."

"Iya sayang. Maaf ya, Mas kan cuma menyampaikan pesan dari Baba. Jangan marah, ya."

Aila mengangguk.

"Umh, sayang. Ada yang mau Mas bicarakan lagi sebenarnya sama kamu."

"Apa Mas?"

Rama kembali mengusap surai hitam Aila. "Selama tiga minggu ini kan Mas nggak pulang, ngurus kerjaan sama Baba, dan Fikron juga. Baba menyerahkan kantor cabang di Bandung untuk Mas. Baba bilang mau istirahat, mau fokus urus pondok. Sementara pabrik disini di urus sama Fikron."

Aila masih mendengarkan penuturan suaminya.

"Kalau misalnya kita pindah kesana, kamu keberatan nggak Ning Ayu?"

Rama melihat istrinya itu sempat terkejut. Ia lantas menahan sedikit rasa kecewanya, tentu istrinya itu akan sangat keberatan. Apalagi ia juga memiliki pekerjaan disini, dan kariernya juga cukup bagus. Mana mau istrinya itu meninggalkan apa yang sudah ia rintis dari nol.

"Harus pindah, ya Mas?"

Rama tersenyum, "Ndak apa-apa kok sayang kalau tinggal disini aja. Maaf ya sayang, mas tahu kok ndak akan mudah buat kamu. Mas bisa kok ke Bandung seminggu sekali, lagian disana juga ada orang kepercayaan Baba juga. Ndak usah di pikirkan nggih?"

"Mas kenapa sih selalu seperti ini? Aku belum jawab apa-apa lhi Mas!" protes Aila.

Rama menatap Aila. "Hm, gimana sayang?"

"Kenapa selalu ambil kesimpulan sendiri sih Mas?"

"Ya Maaf sayang. Abisnya kamu dari tadi diem aja, Mas kira kamu keberatan."

Aila mencebik kesal, Rama terkekeh dan memberikan kecupan pada pipi sang istri. "Iya maaf sayang."

Aila menghela napas. "Mas tahu nggak, sejak hubungan kita membaik, aku tuh selalu berpikir buat resign."

"Lho, kenapa sayang?"

"Bukan karena ndak mau jauh-jauh dari Mas. Ya, walau pun itu sih salah satunya hehe."

Rama tertawa, seraya menggelengkan kepalanya.

"Iih jangan ketawa! Aku serius lho, dengerin ya Mas."

Rama mencium gemas pipi Aila. "Iya sayangkuuu."

Aila mulai berbicara, mengatakan alasannya ingin resign dari pekerjaannya karena ingin fokus menjadi istri sepenuhnya. Dalam artian, siap melakukan segala tugas rumah karena selama ini ia selalu merepotkan suaminya, sedangkan ia malah sibuk bekerja di rumah sakit.

Saat ia pulang ke rumah, semua pekerjaan sudah di selesaikan oleh suaminya. Ia juga ingin memasak, menyetrika pakaian, dan bere-beres rumah seperti istri pada umumnya. Ia tidak mau terus-terusan merepotkan suaminya.

AILA & RAMA [PROSES PENERBITAN] Where stories live. Discover now