Prolog

140 13 8
                                    

Hi, readers,

Welcome back to my page!

Absen dulu yukkkk, tahu cerita ini dari manaaa?

Sudah baca Jenaka atau langsung lompat ke TWIL?

Buat kalian yang belum tahu, The Wolf I Love adalah judul kedua dalam seri Jenaka. Cerita ini sama dengan judul pertamanya, Jenaka, hanya saja ditulis dari PoV Jena. Bisa dibaca terpisah sebagai standalone, tetapi disarankan untuk membaca dulu judul pertamanya untuk pengalaman membaca yang lebih maksimal.

So, semoga kalian suka ya. Please beri aku vote sebelum mulai membaca, dan jangan lupa tinggalkan komentar setelah selesai. Happy reading!

Tubuhnya menggigil di balik seragam yang basah

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Tubuhnya menggigil di balik seragam yang basah. Matanya terasa panas dan perih. Rambut panjangnya yang beberapa jam lalu sempat dijambak sana-sini sekaligus terguyur hujan deras, kini telah setengah kering, dan pastilah kusut setengah mati. Tidak perlu cermin untuk Jenaka mengetahui bahwa dirinya tengah terlihat benar-benar kacau saat ini.

Namun, gadis itu juga tahu satu hal. Melebihi tubuh, mata, dan rambutnya, hatinyalah yang paling tak tertolong lagi. Bagian terpenting dari dirinya itu, yang selama ini ia jaga baik-baik agar tidak ada yang menyakiti itu, telah ia berikan secara cuma-cuma pada seseorang yang bahkan tidak menganggapnya cukup penting.

Bus nomor 02 menepi. Jena menyudahi monolog patah hatinya dan segera berdiri dari posisi duduknya di halte. Gadis itu tak sabar ingin segera pulang dan mengunci diri di kamar untuk menangisi kebodohannya. Walau langkahnya sedikit lunglai, Jena berhasil masuk dengan cukup cepat dan mendapatkan bangku kosong favoritnya, di samping jendela.

Setelah bersandar, ia memejamkan mata. Rupanya, itu tidak membantu meredakan panas yang ada di sana. Jena menyadari sebulir air mata berhasil menyelinap turun ke pipi, meski ia memejam rapat-rapat. Dengan frustasi, cepat-cepat dihapusnya bulir bening itu. Kemudian, ia menarik napas panjang, memaksa dirinya sendiri untuk merasa tenang.

Jena tidak sudi menangisi seorang lelaki yang telah menipunya telak-telak, di bangku samping jendela bus kota, lagi. Sejarah yang berulang, menjadi lelucon terburuk bagi Jena. Membuat hatinya semakin terasa sesak.

Yang terburuk dari seluruh kenyataan pahit ini adalah, Jena bahkan tidak dapat menyalahkannya. Lelaki itu tidak pernah menjanjikan hal apa pun pada Jena. Ia tidak pernah memperlakukannya secara spesial. Jena sendirilah yang terlalu bodoh. Terlalu larut dalam manis yang ternyata tak lebih dari ilusi.

Belum lama tadi, lelaki itu bahkan menegaskan bahwa baginya, Jena hanya seorang teman. Lucunya, ia bahkan tidak mengucapkan itu untuk menyakiti Jena. Tanpa berpikir panjang, ia menyebut Jena teman. Seolah itu adalah sebuah fakta yang sangat gamblang baginya. Mengingat kembali kalimat-kalimat yang ia lontarkan tadi membuat Jena merasakan sebuah sakit yang terasa asing di dadanya. Sebuah perih yang membuatnya tahu, bahwa kali ini, akhirnya, cinta telah benar-benar memperkenalkan diri pada Jena. Hanya pada Jena.

Karena pada lelaki itu, jelas tidak.

Mata Jena kembali terasa panas dan berair. Gadis itu sekali lagi menghela napas panjang. Ia menyadari penumpang di bangku sebelah telah beberapa kali melirik ke arahnya, membuatnya mulai menyesali keputusan untuk pulang menumpang kendaraan umum saat dirinya jelas tidak sedang baik-baik saja. Mungkin akan lebih baik bila tadi ia menelepon Papa atau Om Heru, meminta salah satu dari mereka untuk menjemputnya. Tadinya, Jena enggan karena terlalu malu untuk memperlihatkan keadaannya yang kacau pada mereka. Namun, terus menangis di dalam bus kota sepertinya adalah pilihan yang lebih buruk.

Beruntung, pemandangan di jalan menunjukan bahwa bus sebentar lagi akan tiba di tujuannya, halte terdekat dari perumahan tempat Jena tinggal. Beberapa menit kemudian, bus berhenti. Jena berdiri dan berjalan keluar sambil sedikit menundukkan kepala, menyembunyikan mata dan hidungnya yang merah, juga bibir keringnya yang menyedihkan.

Akhirnya, Jena melangkah keluar dari bus meski sambil masih sedikit tertunduk dan terisak. Namun, tepat saat ia menginjakkan kaki di bahu jalan dan bus 02 melaju meninggalkannya, sepasang tangan besar menyergap tubuh Jena.

Jena hanya sempat terkesiap. Karena sebelum ia dapat berteriak, sebelah tangan si penyergap yang berlapiskan selembar sapu tangan telah membungkus mulut dan hidung Jena dengan begitu keras. Rasa terkejut dan ketakutan yang begitu besar menghantuinya. Jena tidak dapat melihat sosok yang menyergap dan kini menyeretnya ke dalam sebuah mobil hitam yang telah terparkir di pinggir jalan itu—ia disergap dari arah belakang.

Jena meraih leher si penyergap dengan tangannya yang masih bisa bergerak. Otak gadis itu berpikir cepat, berusaha mengingat gerakan Aikido yang dipelajarinya selama puluhan jam dalam satu tahun terakhir. Ia berhasil mengunci leher si penyergap, dan menyikut perutnya dengan tangan yang lain. Kursus bela diri itu ternyata cukup berguna. Terbukti sergapan sepasang tangan itu mulai melonggar hingga akhirnya terlepas.

"Tol—" Sebelum teriakan permintaan tolong itu sempat selesai, si penyergap kembali meraih kepalanya dan menekankan tangan berlapis sapu tangan pada mulut dan hidung Jena dengan lebih keras.

"Anjing!" umpat si penyergap. "Bantuin, goblok!"

Umpatan itu membuat kengerian di hati Jena semakin menjadi—itu artinya, si penyergap tidak bekerja sendiri. Segera saja, dua pasang tangan tambahan menyergap tubuh Jena dari sisi berlainan.

Jena berusaha memutar kepalanya ke arah gerbang perumahannya di seberang jalan. Berharap, seseorang dapat melihat kejadian ini dan mengenalinya dari jarak tersebut. Namun, percuma. Siapa pun mereka, para penyergap itu memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibanding seorang gadis remaja. Terlebih, gadis itu tengah lemah oleh hati yang patah.

Hanya butuh beberapa detik bagi mereka untuk memasukkan Jena ke dalam mobil. Perlahan, zat apa pun yang ada di serat kain sapu tangan itu mulai membuat kepala Jena terasa berputar. Kemudian, segalanya berubah gelap.

Gimana pendapat kalian tentang prolognya?

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Gimana pendapat kalian tentang prolognya?

Mau next part? Jangan lupa vote dan komen ya!

Love,
Author Zsabella

The Wolf I LoveWo Geschichten leben. Entdecke jetzt