#11 : Malam Minggu

Mulai dari awal
                                    

Malu! Retta benar-benar malu keluar restoran begitu saja. Saat keluar dari parkiran pun, Retta kembali melakukan kesalahan. Ia, panik karena sepeda motornya tidak bisa dinyalakan. Ia pun meminta tolong tukang parkir yang tengah merapikan parkiran. Namun lagi-lagi karena gagal fokus, Retta lupa menyimpan standar motornya. Dengan malu-malu Retta mengucapkan 'terimakasih' lalu melenggang pergi.

Retta lemas, perutnya lapar tenggorokannya juga kering. Kini ia duduk di taman kota setelah membeli beberapa cemilan dan kopi tentunya. Setidaknya taman kota tidak dipenuhi muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Jadi Retta merasa leluasa untuk duduk dan menikmati roti bakar coklatnya. Satu gigitan masuk kedalam mulutnya disusul gigitan lainnya hingga sepotong roti bakar masuk ke perutnya.

Hembusan angin yang menyapu kulitnya bersamaan dengan helaan nafas panjang Retta. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat ayah dan ibunya menghabiskan waktunya bersama. Ayahnya memang jarang pulang ke rumah yang kata ibunya pekerjaan ayah memang menyita banyak waktu. Namun jelas itu hanya sebuah alibi, karena Retta tahu kedua orang tuanya selalu bertengkar jika bertemu. Hingga Ibunya pergi dari rumah saat usianya lima tahun. Satu bulan Ibunya tidak pulang, dan kembali dalam keadaan sakit-sakitan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Sampai saat ini Retta tidak pernah tahu apa alasan orang tuanya sering bertengkar. Retta pernah bertanya pada Radit, kakaknya tidak menjawab. Katanya itu urusan orang tua mereka, tidak sepatutnya seorang anak ikut campur. Tapi bukankah sebaliknya?

Retta tersenyum getir, mengingat perayaan anniversary yang tak seharusnya ia hadiri tadi. Rasanya tak perlu berkecil hati, mengingat sudah lama Retta tidak memiliki keluarga. Baginya keluarga yang ia punya hanyalah Radit. Kakaknya itu salah satu anggota keluarganya yang selalu memberi perhatian Retta. Ia masih memiliki Ayah, namun lelaki itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya sejak Retta memasuki SMP. Begitupun dengan
Adrian, kakak sulungnya itu hanya pulang ke rumah pada waktu-waktu tertentu.

Sudah lama Retta merindukan sebuah kehangatan dalam keluarga. Ia ingin sekali saja bisa merasakan anggota keluarganya lengkap dan berkumpul. Sayangnya itu hanyalah mimpi, hal itu tidak akan terjadi dalam hidup Retta.

Tapi setidaknya Retta pernah merasakan kehangatan dikeluarga Marchel. Saat hari ulang tahun Marchel, kekasihnya itu mengajaknya merayakan ulang tahun bersama keluarganya. Marchel merupakan anak tunggal, dan kedua orang tuanya benar-benar menyayanginya. Ibu Marchel juga selalu bersikap lembut pada Retta begitupun ayahnya. Ya, setidaknya satu hari itu Retta merasakan kehadiran orang tua. Hanya satu hari, karena setelah itu Marchel tidak pernah lagi mengajaknya ke rumah.

Brak!

Retta tersadar dari lamunannya lalu berdiri ketika seseorang dengan pakaian serba hitam jatuh di depannya. Retta sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari namun mengurungkan niatnya ketika mendengar suara anak kucing.

"Nggak sakit kan pus?"

Retta memicingkan matanya ketika mengenali suara itu. Ia menunggu sosok di hadapannya membalikkan tubuhnya, memastikan ia tidak salah dengar. Laki-laki berpostur tinggi itu berdiri dan menggendong bayi kucing berwarna abu-abu.

"Heh!" Sapa Retta tak ramah diikuti tabokan dilengan laki-laki itu.

"Apa sih?" Tanya Aksa tak kalah sengit.

"Lo dari tadi di atas pohon?"

"Ck!" Aksa mencebik dengan sorot mata yang semakin tajam. "Nggak usah ke ge-eran, gue cuma ngambil anak kucing gue."

Retta menarik tudung hoodie Aksa ketika laki-laki itu melangkahkan kakinya. Melihat reaksi Aksa yang malah diam di tempat membuat Retta semakin geram dan memutari tubuh Aksa. Hingga ia berada dihadapan Aksa dengan tatapan nyalang.

"Lo emang nggak tahu sopan santun ya?"

"Apa?"

"Harusnya Lo minta maaf karena udah ganggu gue!"

"Gue nggak pernah ganggu lo!" Ujar Aksa dengan tekanan ditiap kata.

"Lo- Aaa!!!"

Retta berteriak ketika anak kucing itu melompat dari gendongan tangan Aksa. Bukannya mengambil kucingnya dari kaki Retta, Aksa malah menikmati ekspresi wajah Retta dengan gelak tawa.

Retta membuka matanya sesaat setelah tawa renyah Aksa tak lagi terdengar. Cowok berpakaian serba hitam itu duduk dengan memangku anak kucingnya. Retta lekas menghampiri Aksa yang mengusap-usap kepala kucing tersebut.

"Ngeselin lo!"

Tidak mendapat sahutan, Retta hanya menatap Aksa yang tak henti-hentinya mengusap kepala anak kucing. Anak kucing yang berbulu lebat itu tampak menikmati elusan majikannya dengan memejamkan mata. Retta berdecak, tidak tahu saja kucing itu jika manusia yang saat ini tengah mengelusnya dengan kasih sayang itu merupakan cowok paling ngeselin menurut Retta.

Sadar Retta masih saja menatapnya, Aksa membalas tatapan Retta dengan nyalang. "Ngapain pelototin gue?"

"Eh?"

"Nih mau kenalan?"

"Kampret!" Teriak Retta disertai gerakan tubuh yang menghindar ketika Aksa dengan kurang ajarnya mendekatkan anak kucingnya pada Retta.

"Lucu gini kok takut," gumam Aksa lalu menciumi anak kucingnya.

"Geli bukan takut," Retta meralat ucapan Aksa. "Lagian lo ngapain sih malam-malam diatas pohon?"

"Nolongin si Baby."

"Baby?"

Aksa berhenti menciumi anak kucingnya lalu kembali menyodorkan kucing mungil itu ke hadapan Retta. "Nih!"

"Aksa!"

"Apa sih? Doyan banget teriak?"

"Awas aja lo bawa Baby lo itu ke gue!"

"Lo ngapain sendirian disini?"

"Terserah gue lah, yang penting bukan ngapelin mbak Kunti kayak lo."

Aksa mendelik tak terima lalu menggeleng. "Ketempelan baru tahu rasa lo."

Retta tak lagi menyahuti Aksa. Gadis berambut sebahu itu memilih untuk diam sambil menikmati kembali roti bakar coklat yang baru ia makan sepotong. Jika dilihat-lihat lucu juga interaksi Kasa dengan bayi kucing itu. Aksa yang selama ini Retta kenal sebagai cowok jutek dan sombong kini berubah menjadi cowok penyayang pada kucingnya. Selebihnya Aksa tetap menyebalkan dimata Retta.

"Mau?" Tawar Retta saat Aksa menoleh dan membalas tatapannya.

Alih-alih menjawab tawaran Retta, Aksa malah menatap kedua tangannya yang menimang bayi kucingnya.

"Nih buka mulutnya."

Aksa mendekat, membuka mulutnya lalu menerima suapan roti bakar dari Retta. Cowok itu tersenyum sebagai ucapan terimakasih yang dibalas anggukan oleh Retta.

"Lagi?" Tanya Retta ketika Aksa berhasil menelan roti bakarnya.

"Minum," pinta Aksa dengan suara serak.

Retta sigap menyodorkan es kopi yang baru ia minum sedikit. Lagi-lagi Retta harus memegangi gelas kopi  beserta pipetnya agar Aksa dapat meminumnya dengan mudah. Senyum Retta yang semula mengembang kini berubah. Wajahnya memerah dengan matanya yang melotot ketika menyadari sesuatu. Mereka minum di pipet yang sama!







🐾🐾🐾


Holla!!!

Gimana²??? Kok Retta malah malam Mingguan sama Aksa?

Direstuin gk nih wkwk?

Psssst... Ada yg takut baper!

Votecommentsebanyak²nyayaahihi/oo\
                                                                    ³







byrainy_210124





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang