10. Pindah Rumah

66 4 0
                                    

Hening. Tidak ada suara di dalam kamar. Latisa tidak menyahut. Zayna masih setia berdiri di depan pintu sambil memegang nampan.

Ceklek. Pintu terbuka secara pelan, Latisa berdiri memandang Zayna dengan mata yang sembab dan rambut acak-acakan tanpa kerudung lalu kembali ke tempat tidur.

Zayna lega sekali, akhirnya Latisa mau membuka pintu. Kakinya melangkah masuk melihat barang-barang yang dilempar berserakan di lantai. Zayna duduk disebelah Latisa, memangku nampan berisi makanan untuk Latisa.

"Makan dulu, yuk."

Latisa menggeleng kepala.

Zayna tidak memaksa. Menaruh nampan di meja belajar. Zayna yakin kalau Latisa merasa lapar pasti makan. "Kakak ada coklat. Mau?" tawar Zayna menyodorkan beberapa coklat ke Latisa. "Coklat bisa bikin mood kamu bagus."

Latisa tidak menolak. Dia sangat pecinta coklat. "Makasih." Menerima coklat pemberian Zayna dengan malu-malu. "Kenapa Kak Zay nggak marah sama Tisa?" tanya Latisa mengingat sikap kasar terhadap Zayna.

"Buat apa Kakak marah sama kamu," tutur Zayna lembut.

"Kak Zay udah tahu kalau aku benci sama Kakak."

"Kakak nggak terlalu memikirkan soal itu, Sa. Mau benci atau enggak, tidak masalah bagi Kakak. Kembali ke penilaian orang lain, tidak memaksa orang lain untuk menyukaiku," jelas Zayna. "Ngomong-ngomong. Boleh Kakak tanya? Tentang perkataan Tisa tadi pagi. Maksud Tisa, Kak Fatih berpura-pura baik itu apa, ya?" tanya Zayna dengan pelan dan suara lembut.

Latisa menatap lekat Zayna agak lama. "Nanti secepatnya Kakak akan tahu kok tanpa Tisa jelaskan." Latisa merasa bersalah. "Maaf, ya Kak. Pasti Kakak kepikiran perkataan Tisa dan maaf perkataan Tisa yang kasar. Tisa nggak bermaksud menyakiti hati Kak Zay."

Zayna menarik sudut bibir, tersenyum amat tulus tanpa dendam. Dia memang telah memaklumi sikap Latisa selama ini jadi sudah pasti dimaafkan. Zayna tidak memaksa malah dibuat bingung apa yang Latisa katakan.

***

Satu minggu kemudian.

Fatih dan Zayna kini sudah pindah rumah. Rumah berlantai dua, walaupun rumah itu tidak sebesar di rumah kedua orang tua Fatih. Kedua pasutri itu sangat bersyukur mempunyai rumah sendiri tanpa menumpang hidup di rumah orang tua.

"Alhamdulillah ya, Mas. Akhirnya pindah," ucap Zayna. Pagi-pagi sekali sudah sibuk dengan barang-barang di dalam koper harus dipindahkan ke lemari. "Aku senang, Mas."

"Iya, Zay. Yang penting membuatmu nyaman, aku tidak mau keluargaku ikut campur urusan rumah tangga kita." Fatih membantu kegiatan Zayna. Tidak mungkin Zayna memindahkan barang begitu banyak sendirian. "Kalau kamu capek kita terusin nanti dan bisa besok."

Zayna mengangguk. Menoleh ke belakang, masih banyak barang-barang di koper dan di tas besar. Ditambah tugas kuliahnya menjelang deadline belum diselesaikan.

"Mas sudah memesan catering untuk pengajian nanti malam?" tanya Zayna membahas acara sambutan syukuran rumah baru sebagai wujud syukur kepada Allah. "Kalau belum kita lanjut beres-beres besok."

"Sudah, Zay. Tenang saja. Mas sudah mengurus semuanya. Dari catering, mengundang tetangga terdekat, dan Pak Ustadz. Nanti Mas minta tolong ke Bapak-bapak yang di bawah untuk membelikan dua dus minuman," jelas Fatih panjang lebar.

Tok. Tok. Tok.

Pintu kamar diketuk oleh bapak-bapak sudah beruban yang membantu Fatih pindahan. Tanpa bantuan orang lain Fatih tidak mungkin bisa memasukkan lemari es yang baru dibeli ke dalam rumah, segala keperluan memasak seperti kompor, piring, gelas, lemari pakaian, meja rias, meja makan. Ruang tamu masih kosong, kata pemilik toko, sofa dan meja akan dikirim besok.

"Permisi, punten." tanya Bapak itu setelah Zayna dan Fatih menoleh ke ambang pintu sebab pintu tidak ditutup. "Mau tanya aquarium mau letakan di mana, ya?

"Di ruang makan aja, Pak. Kebetulan ruangan di situ agak luas," jawab Zayna karena memang menginginkan punya aquarium di ruang makan dan akan mengoleksi ikan hias yang cantik. "Biar kalau makan ada pemandangan ikan hias."

"Baik."

"Memangnya kamu bisa merawat ikan hias, Zay?" tanya Fatih. Lelaki itu kurang yakin Zayna akan terus memantau kebersihan aquarium, mengamati perkembangan ikan hias, dan bisa kapan saja Zayna lupa memberi pakan.

Zayna hanya nyengir lebar. Memelihara ikan hias pertama baginya. Semoga saja ikannya tidak mati dirawat oleh Zayna.

***

Pukul setengah tujuh malam keluarga Zayna datang lebih dulu. Zayna dan Fatih menyambut hangat. Pertama kali bagi orang tua Zayna melihat rumah baru Fatih untuk menjadi tempat tinggal. Arman dan Fani berkeliling sebentar dan takjub dengan arsitektur rumah itu, meskipun ada dinding yang belum di cat semuanya.

"Pasti Zayna nyaman tinggal di sini, Pa," papar Fani.

Arman mengangguk. "Selamat ya kalian berdua sudah menjadi pasangan suami-istri dan selamat untuk rumah baru Nak Fatih. Tolong jaga putri saya," pesan Arman pada Fatih.

"Iya, Pak. Pasti," balas Fatih meyakinkan.

"Assalamualaikum."

Salam dari suara lembut membuat orang yang ada di dalam rumah itu menoleh ke sumber suara. Di sana wanita berpakaian abaya hitam tengah tersenyum sehingga lesung pipitnya kelihatan, kecantikannya terpancar dari wajahnya.

"Wa'alaikum salam," jawab semuanya.

Fatih memalingkan pandangan, sama sekali tidak melihat ke arah Yara. Berbeda dengan Yara sempat mencuri pandangan ke Fatih, tapi Fatih membuang muka. Yara menghela napas berat. Menyesal telah datang ke acara syukuran rumah baru Fatih. Seharusnya tidak datang. Andai Fatih tidak menikahi adiknya, mungkin dirinyalah yang akan menempati rumah ini bersama Fatih.

"Sini masuk, Mbak!" ajak Zayna senang Kakaknya datang. "Kok datangnya nggak bersama Mama Papa?" tanyanya basa-basi saat Yara mendekati.

"Tidak, Zay. Mbak baru pulang berkumpul dengan teman lama," balas Yara tenang mungkin. "Langsung ke alamat yang kamu kasih. Untung tidak salah rumah."

Mulut Zayna membulat berbentuk huruf 'O.'

"Yara sudah sholat magrib?" tanya Fani.

"Belum, Ma," jawab Yara dengan suara lembut.

"Ya sudah, sholat dulu sana," perintah Fani.

Zayna peka. Langsung mengajak Yara untuk masuk lebih dalam rumah baru itu untuk mengambil wudhu dan memberi petunjuk letak kamar tamu untuk sholat. Zayna juga meminjamkan mukena. Setelah itu Zayna bergabung dengan Papa dan Mamanya sambil menunggu keluarga Fatih dan menunggu tamu yang diundang datang.

Sepuluh menit kemudian, Yara selesai sholat magrib. Melipat mukena dengan rapi. Yara memperhatikan mukena itu, masih baru. Pasti dari Fatih.

"Apa maksudnya dari tulisan di secarik kertas yang kamu tinggalkan?"

"Astaghfirullahaladzim," kaget Yara mengelus dadanya. Kaget setengah mati saat baru membuka pintu kamar tamu mendengar suara dingin dari Fatih. Melihat Fatih yang sedang bersandar di dinding. Hampir mukena dan sajadah milik Zayna jatuh saking kagetnya.

"Jangan pura-pura kaget begitu," ketus Fatih sama sekali tak menoleh. "Apa maksud kamu menulis seperti itu? Apa ingin Zayna tahu isi hatimu?" ulang Fatih dengan suara bertambah dingin.

Yara menatap wajah Fatih dari samping. Wajah menakutkan dari Fatih membuat Yara menelan ludah susah payah, dia menunduk menatap mukena yang dipegang. "A-ak-aku tidak punya maksud lain, Mas," jawab Yara terbata-bata.

Alis Fatih terangkat. "Bohong!" Fatih yakin pasti Yara punya niat terselubung menaruh kertas itu di dalam box cake agar istrinya yang membaca. "Jangan lakukan hal bodoh seperti itu lagi. Aku sudah menikahi adikmu, Ra. Ingat, dia wanita tak lain adikmu sendiri! Jangan kau usik kehidupannya! Biarkan dia bahagia bersamaku!"

Hancur lebur hati Yara mendengar penuturan Fatih, menyakitkan hati. Zayna bahagia? Lalu bagaimana dengan dirinya? Melihat lelaki yang selama ini Yara sukai sejak dulu sudah berkeluarga dengan adiknya sendiri?

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiWhere stories live. Discover now