8. Jangan Sampai Tahu!

86 5 0
                                    

"Jangan sok care dong sama Kak Zay. Tisa tahu semuanya kalau Kak Fatih cuma pura-pura baik sama Kak Zayna!"

"TISA!" bentak Fatih tanpa berpikir dulu. "BICARA APA KAMU?!" Bentakan kedua nada suara lebih tinggi.

Latisa terkejut mendengar bentakan Fatih. Ini adalah pertama kalinya dibentak. Matanya memerah dan berkaca-kaca lalu buru-buru turun dari mobil sebelum Fatih berteriak memanggilnya dengan nada marah, berlari ke gedung sekolah tanpa menoleh ke belakang sambil menahan tangis. Latisa memang type gadis yang tidak suka dibentak.

Di dalam mobil. Dada Fatih naik turun, sibuk mengatur napasnya. Menarik lalu dihembuskan perlahan. Perkataan adiknya berhasil membuatnya emosi. Bibirnya bergerak berulang kali mengucapkan istighfar untuk menenangkan diri.

Sementara Zayna terdiam melihat ke arah jendela kaca mobil di mana gedung itu sekolah menengah atas. Batinnya bertanya-tanya, Ya Allah apa maksudnya dari perkataan Latisa? Fatih berpura-pura baik padanya? Hati Zayna mulai tak tenang dan awalnya tidak terpikirkan menjadi kepikiran. Dia ingin bertanya langsung ke Latisa nanti setelah Latisa pulang sekolah.

"Zay," panggil Fatih menepuk pundak istrinya. "Aku minta maaf atas sikapku tadi."

Tanpa menoleh, Zayna menjawab, "Jangan minta maaf padaku, Mas. Minta maaflah ke Tisa. Dia pasti sedih."

Fatih menghembuskan napas panjang. "Aku kelepasan tadi, tidak ada niatan membentaknya," jelas Fatih tidak mendapatkan respon dari Zayna.

Sepanjang jalan pulang, Zayna menjadi pendiam sibuk dengan pikirannya sendiri. Hanya suara musik mengisi keheningan di mobil itu. Lagu all too well dari Taylor Swift membuat perasaan Zayna semakin tidak karuan.

"Nanti siang ke coffee shop milikku, ya." Fatih membuka topik pembicaraan karena sedari tadi mencuri pandangan tapi istrinya tidak sedikitpun menoleh padanya. "Sekitar tiga puluh menit sampai."

"Iya, Mas," balas Zayna lemas. Tak ada energi untuk berbicara.

***

"Zayna sini sebentar, Nak!"

Zayna baru selesai sholat Dhuha, hendak turun ke bawah untuk mengambil air putih. Tiba-tiba dipanggil Mama Desi di ruang makan. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Zayna mengurungkan niatnya pergi ke dapur.

"Ini tadi ada seorang wanita datang ke rumah ini. Menitipkan ke Mama ini," tunjuk Desi ke box cake dengan windows yang dilapisi mika bening sehingga isian dalam box itu terlihat. "Untuk kamu, Zay. Cake kesukaan kamu katanya."

Mata Zayna tertuju ke box di meja. "Wah, ini cromboloni coklat. Zayna suka banget!" Matanya berbinar senang. Mood Zayna berubah drastis. Tak berhenti memamerkan deretan gigi sambil memandang cromboloni yang bikin ngiler. Sudah lama sekali Zayna tak menikmati cromboloni dengan coklat yang lumer di mulut. Alhamdulillah masih pagi ada orang baik. "Dari siapa, Ma?"

Desi mencoba mengingat. "Dari, namanya Yara."

Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih? Bibir Zayna langsung menutup, kalau dipikir-pikir hanya Yara yang mengetahui cake kesukaannya. Seharusnya Zayna langsung tahu siapa yang memberinya cromboloni tanpa bertanya.

"Oh, Mbak Yara kakakku, Ma," ucap Zayna memberi tahu.

"Kok Mama baru tahu, sih. Kakak kamu sudah pulang. Aduh seharusnya tadi Mama ajak Nak Yara masuk. Mama jadi tidak enak nih."

"Tidak apa, Ma. Mbak Yara datang ke pernikahanku tapi saat acara resepsi selesai," jelas Zayna. "Nanti Zay telpon Mbak Yara buat ngucapin terima kasih."

"Salam untuk Kakakmu, ya, Nak."

"Nanti Zayna sampaikan salamnya." Zayna meraih box itu agar mendekat. Rasanya tidak sabar mencoba. "Mama mau coba?" tawar Zayna.

Desi mengangguk. Penasaran dengan rasanya karena lidahnya tidak pernah mencicipi cromboloni. Zayna mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Mama Desi—mulai kantong plastik lalu membuka box.

"Ini beli atau buat, Zay?" tanya Desi, mulai menggigit kue itu. "Enak sekali rasanya!"

"Iya kan, Ma? Yang buat Mbak Yara, soalnya dulu Mbak Yara selalu bikin cromboloni," cerita Zayna sambil menikmati kue tersebut.

"Pintar memasak, ya?" tebak Desi.

"Iya, Ma. Dulu Mbak Yara sekolah menengah kejuruan ambil jurusan Tata boga. Jadi, dari dulu suka membuat sesuatu di rumah."

"Seperti Fatih, ya," sahut Desi. "Suka masak."

Zayna mengiyakan. Memang benar Yara pintar memasak seperti Fatih.

"Zayna ... Aku mencari kamu kemana-mana, ternyata di sini. Yuk perginya sekarang sebelum cahaya matahari meninggi."

"Iya, Mas." Zayna sudah puas makan satu cromboloni, dia mengelap sudut bibirnya menggunakan tisu. Menutup box itu dan membawa piring yang telah kotor ke wastafel, tak lupa mencuci tangan. "Zayna ganti baju dulu, Mas." Zayna bergegas menuju kamar.

"Iya," sahut Fatih.

"Mau pergi? Kemana?" tanya Mama Desi.

"Coffee shop, Ma," jawab Fatih. "Apa itu? Dari siapa, Ma? Perasaan tidak ada yang pesan go-food." Fatih melihat box itu tertarik untuk mencoba. Dari penampilan sepertinya enak.

"Cromboloni. Dari Yara, Kakaknya Zayna yang baru pulang. Kamu sudah bertemu dengan Yara?"

Deg. Dada Fatih terasa dihantam keras oleh batu kala nama wanita itu disebut. Lelaki itu mematung di tempat. Napasnya tercekat di tenggorokan. "A-apa Ya-ra ...?" Suara Fatih terbata-bata. "A-ku sudah bertemu dengannya, Ma," lanjutnya memberi tahu.

"Saat acara pernikahan kalian selesai, kan?"

Fatih mengangguk. Terpaksa berbohong, tidak ingin Mama Desi mengetahui kalau dirinya lebih mengenali Yara dibandingkan Zayna. Fatih sedikit kesal. Kenapa wanita itu berani sekali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya? Dengan alasan untuk bertemu Zayna dan memberikan Zayna sesuatu.

Fatih membatalkan niat untuk memakan cromboloni. Meletakkan kembali ke dalam box, saat hendak menutup tanpa sengaja melihat amplop putih terselip entah berisi apa. Saat Mama Desi pergi, Fatih meraih amplop itu, membuka, dan mulai membaca. Tangan Fatih bergetar hebat. Matanya melebar sempurna. Ini tidak benar! Wanita itu tanpa Fatih duga dengan berani menulis surat diletakan ke bungkus kue itu.

Bagaimana kalau Zayna yang membaca?! Fatih tidak bisa membayangkan perasaan Zayna.

Wajah Fatih berubah menjadi merah padam. "Apa yang telah kamu lakukan, Ra?!" batinnya sambil meremas-remas kertas itu dan menggertakkan gigi dengan penuh amarah.

"Kamu kenapa, Mas?"

Suara Zayna membuat Fatih tersadar, cepat-cepat memasukkan kertas yang sudah diremas ke kantong celana. "Engga kenapa-kenapa. Sudah siap, yuk berangkat," ajaknya berjalan lebih dulu.

Zayna tak bergeming merasakan keanehan. Beberapa detik tersadar, dia berusaha mengabaikan keanehan pada Fatih, dan mengikuti langkah suami, tapi tiba-tiba Fatih berbelok ke kiri dan naik tangga.

"Sebentar. Aku ke kamar dulu."

Zayna mengangguk. "Iya, Mas. Jangan lama-lama." Zayna pun berjalan ke halaman rumah sambil menunggu Fatih.

Di kamar, Fatih menutup pintu rapat-rapat, sempat melihat keadaan tidak ada orang yang akan masuk ke kamar. Berharap Zayna tidak menyusulnya dan  tetap berada di lantai bawah. Fatih merogoh kantong celana, mengambil kertas lecek itu dan dibuang ke tempat sampah yang ada di kamar.

"Jangan sampai Zayna membaca ini!"

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu