5. Dihina!

87 3 0
                                    

Mimik muka Zayna terheran-heran mendengar suara gaduh di lantai bawah. Ada apa di sana? Kini Zayna menuruni tangga bersama Fatih sehabis sholat isya. Betapa terkejutnya Zayna melihat keluarga besar Fatih di ruang keluarga sedang asyik bercakap-cakap, ada tawa, dan canda. Fatih tak kalah terkejut, karena lelaki itu tidak mengetahui kalau keluarganya akan datang.

Suasana yang tadinya ramai menjadi hening sejak kedatangan mereka berdua dan apa yang Zayna lihat? Keluarga Fatih memperhatikannya dengan berbagai tatapan. Ada yang menyukai dan ada yang kurang begitu menyukai kehadiran Zayna. Zayna tetap tersenyum ramah pada keluarga Fatih, menepis pikiran buruk sangka.

"Wah ... pengantin baru nih baru turun ke lantai bawah." Papa Fatih masih mengenakan peci hitam di kepala, menutupi rambut yang sedikit botak. "Hayo abis ngapain kalian di kamar terus?" goda Hasan.

Melihat ayah Fatih sudah berada di rumah, Zayna cepat-cepat menghampiri untuk mencium tangan Hasan dan mencium tangan semua orang yang lebih tua darinya.

"Papa bicara apa, sih?" Kesal Fatih mendengar godaan Hasan yang garing menurutnya.

"Maklum aja, Pa. Kan pasutri baru, pasti ingin selalu berduaan," timpal Desi dengan enteng. "Sini gabung, Nak!" Desi menarik tangan Zayna dan bergeser agar menantunya duduk di sebelahnya.

Zayna menurut duduk di tengah keluarga Fatih yang tidak tahu nama mereka, sementara Fatih duduk di sebelah Hasan. Desi menatap Zayna dengan senyuman, tangan kanan beliau mengelus punggung tangan Zayna dengan lembut.

"Terima kasih, ya. Sudah mau menikah dengan anak saya," ucap Desi lirih. "Ini lho menantu kesayanganku, panggil saja Zayna," ucap Desi memperkenalkan Zayna kurang lebih kepada empat orang yang berada di situ, dua Ibu-ibu, dan dua wanita yang sepertinya belum menikah. Karena pernikahannya di gedung sehingga acara sangat singkat membuat mereka tidak sempat berkenalan dengan Zayna lebih dalam.

"Itu Tante Dewi," tunjuk Desi ke Ibu berkerudung pink. "Sebelahnya Tante Yeni. Lalu wanita yang kerudungnya di ingat ke belakang ada tahi lalat di atas bibir namanya Dona, putrinya Tante Yeni dan sebelahnya itu Aruni, putrinya Tante Dewi.

Zayna mengangguk paham mencoba mengingat nama yang telah disebut.

*****

Ini adalah pertama kalinya bagi Zayna makan malam bersama dengan keluarga suaminya. Rasanya canggung sekali. Dia masih berdiri mencari kursi untuk didudukinya dan melihat kursi kosong di sebelah Fatih, memutuskan untuk duduk di kursi itu, namun tiba-tiba sebuah tangan dari belakang menarik kursi itu.

"Tisa duduk di sini, ya. Bolehkan, Kak?" izin Latisa pada Fatih.

"Tisa, Pindah!" titah Desi. "Duduk di sebelah Mama."

"Yah, Mama! Tisa pengen duduk di sini," rengeknya seperti anak kecil minta permen. "Duduk di sebelah Kak Fatih. Kan beberapa hari lagi Kak Fatih mau pindah."

Desi menggeleng keras, melototkan mata. Alhasil Tisa cemberut, bibirnya maju beberapa senti.

Gadis remaja tersenyum sinis ke Zayna. "Tahu diri dong, kamu orang baru di keluarga Fatih ini! Harusnya mengalah!"

"TISA!" geram Desi, memijit pelipisnya yang mendadak pusing dengan kelakuan Latisa.

"Tidak apa-apa, Ma. Biar Zayna duduk di kursi lain," sahut Zayna tidak enak hati memperkeruh keadaan di meja makan hanya karenanya dan Latisa rebutan kursi.

"Tisa kamu harus nurut sama Mama, jangan melawan! Ayo pindah!" tegas Hasan sedari tadi hanya mendengarkan, matanya memberi isyarat agar Latisa cepat-cepat pindah. "Itu kursi untuk Nak Zay."

"Iya-iya, Pa. Tisa pindah." Tidak ingin membuat Papanya marah, karena marahnya Hasan sangat menakutkan. Tisa menghampiri kursi di sebelah Mamanya, sempat menatap Zayna dengan kesal dan sebal.

"Mari semuanya makan. Makan malam ini sangat spesial karena Istriku yang memasak, biasanya yang masak Bibi. Di jamin rasanya mantap!" Hasan mempersilahkan mereka semua untuk makan malam. "Nak Zay jangan malu-malu, ya. Anggap saja rumah sendiri, makan yang banyak," ujar Hasan pada Zayna.

Zayna mengangguk kecil. Sebenarnya nafsu makan Zayna telah hilang, tidak berselera makan walaupun Mama Desi menawarkan berbagai lauk pauk dan menyuruhnya menambah nasi, tapi Zayna menolak dan makan secukupnya dengan berpura-pura lahap sebab tidak ingin menyinggung Desi tentang rasa masakannya.

Sepuluh menit berlalu, semua lauk menu di meja makan hampir habis dan hampir tidak tersisa. Semuanya telah menghabiskan makanan masing-masing. Suasana di meja makan dicairkan oleh Tante Dewi yang memulai percakapan.

"Kuliah semester berapa, Nak Zay?" tanya Tante Dewi.

"Baru semester lima, Tante," jawab Zayna dengan ramah.

"Masyaallah, kamu lebih cantik aslinya, tanpa make up, natural, kulit kuning langsat, ya. Mukanya persis seperti Ibunya," puji Tante Dewi. "Pantesan Fatih mau menikah dengannya."

"Iya, ya. Ayu temen bojone Fatih," sahut Tante Yeni memakai bahasa Jawa.

"Masyaallah, aamiin, Tan," tanggap Zayna ketika dipuji. Dia sama sekali tidak terbang kala dipuji.

"Ah jelek begitu, mana ada cantik," celetuk Dona. "Masih banyak diluar sana wanita shalihah yang cocok jadi istri Fatih," lanjutnya tanpa memikirkan perasaan Zayna.

Jleb. Kata-kata itu sungguh menusuk hati. Zayna berusaha tidak mengambil hati. Menanggapi dengan senyum tipisnya. Kenyataan memang dirinya tidak se shalihah seperti kebanyakan wanita di luar sana. Zayna baru belajar mendekatkan diri pada sang pencipta.

"Dona jaga bicara kamu!" tegur Desi sambil menggeleng kepala memberi isyarat ke Dona agar Dona menjaga mulutnya itu. Sedikit tidak terima menantunya dibilang jelek. Padahal cantik begitu.

Dona tidak peduli mendapatkan tatapan tajam dari Ibunya. Dia membalas dengan nada tanpa dosa, "Ih Tante! Kan aku bicara secara fakta lho, Tan. Makanya sebelum dijodohkan harus dilihat dulu masa lalunya. Kalau udah nikah begini kan kita kecewa. Iya, tidak?" Menyenggol lengan Aruni yang duduk di sebelah.

Aruni hanya mengangguk. Tak berkomentar, jadi diam saja. Aruni melirik Pak Hasan, dia masih punya rasa takut pada lelaki tua itu, berbeda dengan Dona asal ceplos tanpa rasa takut.

"Dona apa-apaan kamu!" Yeni mulai emosi dan merasa malu sendiri mempunyai putri yang bersikap seperti tidak diajarkan etika sopan santun. "Maaf, ya semuanya. Dona sedang haid jadi seperti itu, tolong jangan diambil hati," kilahnya sambil tertawa canggung, menangkup kedua tangannya.

"Maksud kamu apa, Dona?" tanya Tante Dewi tak mengerti. "Kenapa kecewa?"

Semua mengerutkan kening kebingungan, kecuali Dona, Aruni, dan Tante Yani. Kini semua mata tertuju pada Zayna, sementara Zayna mencengkeram kuat gamisnya, badannya terasa panas dingin. Jangan-jangan Dona mengetahui masa lalunya? Lengkap sudah rasa sakit Zayna, sudah Latisa tidak menyukainya, sekarang Dona secara terang-terangan memojokkan dirinya dan mempermalukan. Zayna melirik Fatih yang tengah menatapnya dari samping, Zayna langsung menunduk.

"Kenapa kamu diam aja, Mas?" batin Zayna berharap Fatih membelanya dan melindungi.

Desi langsung menyuruh kedua putrinya masuk ke kamar. Setelah Denia dan Latisa menaiki tangga, Desi memasang wajah serius membuat Yeni menelan ludah susah payah. "Tante sama sekali nggak paham apa yang kamu katakan."

"Zay kan anak malam, Tante. Dulu suka pergi ke club malam pakai pakaian sexy. Aurat terbuka. Pacarnya ganti melulu," jelas Dona dengan nada suara menghina. "Coba aja Tante tanyain ke orangnya. Kalau tidak menjawab berarti benar."

Yeni langsung berdiri dan berseru, "CUKUP DONA! JANGAN MEMBUAT MAMA MALU!" Suaranya menggelegar.

"Kenapa Mama yang malu? Aku mengatakan secara fakta!" kesal Dona.

Yeni menghampirinya dan menarik paksa tangan Dona untuk keluar dari rumah itu. Yeni sudah terlanjur teramat malu pada Desi dan Hasan atas ucapan putrinya. Disusul Tante Dewi bersama Aruni yang ikut bergegas pulang, dua orang itu tidak mau ikut campur urusan keluarga Fatih. Suasana di meja makan mulai menegangkan dan hanya terdengar bunyi suara sendok garpu, gelas, piring yang diangkat ke dapur satu persatu oleh Bi Astri.

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang