BAB 03 | She Must Follow My Rules

306 29 13
                                    

Happy reading!

•••

Beberapa jam yang lalu ...

Setelah hangout bersama para sahabat ( yang sayangnya pada berengsek ), Halilintar bergegas kembali ke apartemen. Tempat di mana hampir lima tahun ini ia tinggali semenjak berkuliah dan kini menjabat sebagai Chief Executive Officer atau lebih dikenal CEO di perusahaan milik sang kakek. Meskipun pada awalnya itu bukan tujuan Halilintar, tetapi mau tidak mau ia harus. Selain karena anak pertama, juga dikarenakan kedua adiknya tidak ada yang bisa diandalkan dalam bisnis.

Adik pertamanya, Bimantara Taufan Cakrawala, lebih memilih terjun ke dunia medis di mana saat ini sedang menempuh pendidikan kedokteran di Eropa. Mana kadang kepulangannya dapat hitung jari saking jarang, bahkan Halilintar pernah nyaris lupa kalau Taufan itu saudaranya.

Harap maklum karena itu sudah tabiat Halilintar si pelupa akut. Padahal masih berusia muda, tetapi daya ingatnya agak bermasalah. Herannya dia justru cerdas di bidang soshum. Membuat para anggota keluarga mempertanyakan soal kinerja otak Halilintar. Sebelas dua belas sebenarnya dengan adiknya.

Kemudian beralih pada si kembar bungsu, Bentala Gempa Cakrawala. Pria murah senyum dan bijaksana serta baik hati meskipun tegas jika terjadi kekacauan. Terutama jika tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Gempa juga mempunyai aura kepemimpinan kuat. Tidak heran sebelum dipegang olehnya, Gempa pernah ditawarkan mengambil alih perusahaan. Namun, karena terlalu malas bahkan muak kembali berhubungan dengan dokumen, ia menolak.

Gempa sudah cukup sejak SMP hingga lulus kuliah selalu mendapat bagian mengurus hal tersebut. Jangan salahkan dia, salahkan saja kenapa orang-orang selalu menunjuknya menjadi ketua hingga presiden BEM kampus. Oleh karena itu pula, Gempa kini lebih memfokuskan diri menjadi chef handal di restoran yang dia kelola. Karena itu pula Halilintar sering menyeret Gempa agar membantunya.

Kedua adiknya itu mengorbankan dirinya agar terjun di dunia bisnis. Menjadikan dia sebagai tumbal yang setiap hari dihantui berbagai jenis dokumen untuk ditanda tangani.

Sialan memang.

Ah, kembali ke fokus utama. Awalnya Halilintar berniat untuk istirahat sejenak setelah seharian ini diteror sedemikian rupa oleh pekerjaan di kantor serta ayah dan kakeknya. Kedua orang itu tidak habisnya mencerca agar dia cepat menikah dengan sang calon. Yang mana hingga saat ini belum dia temui. Bahkan, rupa wajahnya saja Halilintar tidak tahu.

"Hobi banget desak buat nikah. Tuh, dua orang manusia fotokopian gue aja masih jomlo," gerutu Halilintar meneggelamkan wajahnya pada bantal.

Meskipun menerima perjodohan yang dilakukan atas dasar wasiat mendiang neneknya, tetap saja Halilintar kepikiran. Halilintar ingin kebebasan dalam menjalani hidup, bukan diatur mulai dari tujuan, karir, bahkan urusan pasangan. Terlebih lagi, sebenarnya dalam kamus hidupnya belum terbayangkan akan menjalin hubungan dengan lawan jenis apalagi sampai menikah. Namun, kembali lagi mungkin ini takdirnya. Entahlah, ia sudah lelah.

Lagi pula, ia belum bertemu dengan calon istrinya. Bagaimana rupa atau sifatnya Halilintar tidak tahu. Hanya saja semoga tidak merepotkan dan berisik.

Dengan mata terpejam dengan bantal di dagu, hampir saja Halilintar memasuki dunia mimpi kalau saja dering ponsel tidak mengagetkannya. Sambil bangun dan mengusak rambut hitam lebatnya, Halilintar menatap notifikasi yang masuk. Keningnya berkerut ketika terpampang nama sang ayah, Amato, mengirimkan sebuah gambar. Lalu, chat selanjutnya merupakan tulisan.

Si Mamat

Ayah kasian karena kamu penasaran soal calon istrimu.

Don't Bothering Me, Husband!Where stories live. Discover now