BAB 01 | Rumors and The Arranged Marriage

558 38 24
                                    

Jika merupakan anak pertama sekaligus pewaris, tentu hal yang akan ditanyakan oleh keluarga bukan bagaimana cara mengatur perusahaan. Mereka tidak akan bertanya seperti begitu ketika sudah memilihnya, sehingga tidak perlu dipertanyakan kembali. Namun, itu tentang hal lain dan bersifat privasi. Akan tetapi, mereka akan terus mendesaknya sampai sebuah kata setuju lolos dari bibir.

Begitu pun dengan pemuda bermanik jelaga itu. Dia sedang duduk sambil menghadap dua pria nyaris serupa dan berbeda generasi. Setelan kemeja berbalut vest merah tuanya belum dilepas, menandakan bahwa dia baru saja pulang dari perusahaan. Akan tetapi, dua pria itu sudah menariknya untuk berbincang.

Ingin rasanya dia meluapkan kekesalan. Namun, ketika mengingat mereka berdua itu orang tua juga lebih menyeramkan saat marah, dia memilih untuk menurut.

"Jadi, kenapa Ayah dan Kakek memanggilku kemari? Ada hal serius yang perlu diomongin, kah?" Pemuda itu bertanya langsung sambil menatap mata kedua orang di depannya.

Amato Cakrawala - ayahnya - terdiam sejenak, lalu melirik orang di sebelahnya seakan meminta persetujuan. Ketika mendapat anggukan kepala sebagai jawaban, akhirnya Amato pun kembali menatap putra sulungnya itu. "Benar. Ada hal yang ingin kami bincangkan denganmu, Hali."

"Tentang apa? Kalau untuk masalah perusahaan, kalian tidak usah cemas. Aku mampu handle selama ini. Terlebih ada juga bantuan dari teman dan juga Gempa."

Satu sudut bibir Amato berkedut. Meskipun agak kesal mendengar perkataan sombong bernada lempeng dari anaknya itu, dia mengakui jika perusahaan dalam kondisi stabil bahkan melonjak setelah ditangani oleh Halilintar.

Walaupun sebenarnya Amato lebih sadar jika itu dilakukan agar mereka dapat bersantai setelahnya.

Amato menghela napas pelan, lalu kembali bicara. "Ayah tahu kau memang mampu kalau masalah itu, mengingat sejak kecil kau sering mengikutiku ke setiap pertemuan di perusahaan," tukasnya.

Halilintar meringis. "Jangan dibicarakan lagi. Langsung saja pada inti obrolan kali ini, karena aku yakin kalian bukan bertanya mengenai perusahaan saja."

"Kamu memang cerdas seperti biasanya," sahut sang kakek, Kusuma Aba Cakrawala.

"Aku tahu."

Kusuma mencibir pelan cucunya itu. Entah bagaimana dia memiliki cucu begitu cuek dan dingin seperti Halilintar, belum lagi dua adiknya lainnya. Benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.

Amato sekali lagi menarik napasnya lelah, berusaha bersikap tenang layaknya orang dewasa dan ayah. "Tapi, kali ini kami bukan mau ngomongin itu, melainkan soal rumor yang beredar saat ini di perusahaan," jelas Amato serius.

Satu alis Halilintar terangkat heran. "Hah? Rumor? Memangnya ada rumor apaan sampai aku dipanggil begini," katanya tidak mengerti.

Helaan napas lagi-lagi lolos dari bibir pria baya itu. Anak sulungnya itu dibekali kecerdasan dan kecakapan dalam berkerja hingga perusahaan yang dia pimpin kini sudah sangat besar. Namun, ia terkadang abai dengan keadaan sekitar. Termasuk kabar burung yang menyebar di perusahaan.

Amato sendiri pun tahu akan hal itu setelah mendapatkan laporan dari tangan kanannya. Jika tidak, masalah rumor itu akan semakin buruk yang mana berakibat fatal pada reputasi perusahaan.

"Ayah dapet laporan dari Meka kalau kamu dirumorkan punya hubungan sama Solar, dan itu sudah menyebar," ungkap Amato menatap lurus pada mata Halilintar.

"ANJING!"

"HALILINTAR, MULUT!"

"Maaf." Halilintar kembali membenahi posisi duduk dan kerah kemejanya. "Siapa yang berani rumorin aku begitu sama Solar? Apa dia nggak sayang nyawanya, kah?"

Don't Bothering Me, Husband!Where stories live. Discover now