22. Last Apology

22 1 1
                                    

Apa yang awalnya adalah kecupan kecil penuh keraguan, dengan cepat berubah menjadi ciuman yang panas.

Jemari Seokjin yang panjang merengkuh wajah Felix yang mungil, sementara Felix melingkarkan tangannya di pinggang Seokjin dengan begitu kuat.

Keduanya mulai terengah, dan tubuh mereka mulai saling menggesek dengan penuh nafsu.

Seokjin mengerang lirih saat gigitan lembut terasa di bibirnya. Rasa bersalah mulai merayap. Tapi anehnya juga rasa lega dan bersemangat. Akhirnya, ia bisa bersetubuh tanpa harus khawatir apakah pasangannya benar menikmatinya atau tidak.

Karena tentu saja Felix menginginkannya. Dan kali ini ia akan bisa melakukan apapun yang ia inginkan.

Dengan tidak sabar tangannya menggaruk pintu, dan begitu ia menemukan gagang pintu, langsung dibukanya sekuat tenaga.

Dan terdengar suara jeritan.

Dua jeritan.

Seokjin membeku. Jangan bilang...

Begitu perlahan ia memutar tubuhnya. Matanya tidak berkedip menatap apapun yang terjadi di dalam kamar tidurnya.

Tangannya langsung lunglai di pinggir tubuhnya, dan ia bahkan harus memaksakan diri untuk bernapas hanya untuk meyakinkan ia masih hidup dan benar pria yang sedang telanjang di atas ranjang mereka adalah orang yang sampai satu menit yang lalu masih ia coba pertahankan sebagai kekasihnya.

Pria yang kini menatapnya panik dengan wajah pusat pasi. Sementara tangannya mendorong seorang perempuan berambut merah yang ada di atas tubuhnya menjauh.

Perempuan itu menjerit-jerit kaget, sibuk menutupi tubuhnya. Sementara Felix tertawa tertahan di belakang Seokjin.

Tapi yang Seokjin lihat hanyalah satu hal. Kejantanan yang berdiri tegang diantara dua bilah paha pucat yang sudah berbulan-bulan tidak pernah dilihatnya.

Seokjin mengedipkan matanya. Warna biru kondom yang membungkus terlihat semakin terang. Mereka tidak pernah punya kondom, karena mereka tidak pernah memakainya. Tidak sejak mereka pertama tinggal bersama di apartemen mungil di pinggiran Seoul.

Seoho meraih pakaiannya dengan panik, tapi mata Seokjin sempat menangkap ruam kemerahan di lehernya dan bekas gigitan di bahunya.

Mata Seokjin terasa panas, tapi ia terlalu kalut untuk menangis. Dan dadanya terasa sangat sakit, begitu sakit sampai ia berharap bisa mati saja saat ini.

Setelah semua yang ia berikan dan usahakan, ternyata inikah yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan ia dibohongi? Ini perempuan keberapa? Apa Seoho sungguhan sakit?

Bibir Seokjin gemetar karena banyaknya pertanyaan yang bertumpuk di pangkal lidahnya. Tapi akhirnya yang keluar dari mulutnya hanyalah. "Kita putus aja. Gue capek."

Ia membalikkan badannya, lalu mulai berlari. Ia tidak bisa mengingat apapun, sekelilingnya buram, suara-suara tanpa arti, segala di sekitarnya bergerak terlalu cepat.

Hanya langkah kakinya yang bisa ia rasakan. Tersaruk dan terseret. Hingga mendadak tubuhnya terpental ke belakang oleh cengkeraman kuat di tangannya.

"Lepasin..." Ia berkata pelan pada pemuda yang berdiri di hadapannya dengan napas menderu.

Rambutnya berantakan, jaketnya terbuka tanpa dalaman, celananya menggantung rendah di pinggul terinjak oleh kakinya yang hanya terbungkus slipper rumahan.

Dulu Seokjin mungkin akan menggoda Seoho habis-habisan. Tapi sekarang penampilannya hanyalah bukti dari hubungan seks yang terpotong tiba-tiba.

"Lepasin..." Seokjin mencoba menarik tangannya, tapi Seoho selalu lebih kuat daripada dirinya.

Takeaway Days [COMPLETED]Where stories live. Discover now