25. My Choice

33 3 0
                                    

"Happy birthday, baby!" Kecupan mesra mendarat di pipi Seoho saat ia baru menapak satu anak tangga di gedung kampusnya.

Disusul pelukan dan begitu kencang. Dan ciuman lain di bibirnya. "Maaf ucapan selamatnya terlambat sehari."

Seoho merengkuh pinggang mungil yang melekuk indah, rambut panjang sepinggang menyentuh tangannya saat gadis itu meliukkan punggungnya menahan ciuman balasan Seoho. "Nggak dimaafin."

"Lho, kok gitu?" Ia cekikikan manja. "Kamu yang kemaren seharian nggak bisa aku kontak. Aku datang ke apartemen kamu aja kamu nggak bukain pintu."

Mereka lalu berjalan berdua beriringan menuju kelas. "Aku tidur."

Tentu saja Seoho tidak bisa bercerita kalau seharian kemaren ia tidak berfungsi sebagaimana manusia. Hanya berbaring di tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri dengan membaca ulang komik-komik lama di ponselnya.

Tidak mandi, tidak makan. Ketika akhirnya ia bisa menyeret dirinya ke meja makan ia menghabiskan nyaris sejam dalam diam memandangi kue tart mungil berwarna kuning. Kue yang sama persis dengan yang Seokjin belikan untuknya tahun lalu, berdasarkan bon pembelian yang terselip di bawah karpet.

Bon itu satu-satunya barang Seokjin yang tertinggal di apartemennya. Sisanya sudah menghilang dibawa kembali ke Seoul atau dibuang oleh pemiliknya sebelum pergi.

Seoho tidak benar-benar yakin apa yang sebenarnya terjadi. Ia dirawat di rumah sakit selama sebulan. Disusul beberapa bulan terapi. Terus mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dosis tinggi yang membuat kesadarannya selalu ada di ambang batas.

Yang ia yakin hanyalah Seokjin sudah pergi dari Australia karena ada pesan panjang lebar di ponselnya. Proyeknya ditunda, dan ia dipulangkan. Tidak ada yang bisa ia lakukan sebagai seorang pegawai kecuali mengikuti jadwal penerbangan yang sudah dibooking kantor, walaupun saat itu Seoho masih terbaring tidak sadarkan diri.

Tapi Seoho menolak menyerah. Dan hal pertama yang ia lakukan setelah ia bisa berjalan normal adalah mendatangi kantor Seokjin dan menghabiskan seharian di cafe di seberang jalan.

Di hari ketiga, di jam makan siang, akhirnya ia melihatnya. Seokjin dan Felix sialan itu. Berjalan berduaan menuju ke sebuah coffee shop.

Sakit di dada Seoho bahkan lebih menyakitkan daripada saat paru-parunya masih terluka dan tulang rusuknya belum pulih.

Jadi Seokjin sudah kembali ke Australia. Kenapa ia tidak dikabari? Kenapa ia tidak pulang ke rumah mereka? Dimana Seokjin tinggal sekarang? Apakah ia sekarang berpacaran dengan Felix?

Rasa ingin tahu berubah menjadi obsesi. Rasa rindu yang tulus berubah menjadi rasa penasaran yang mencekam. Seoho mulai membuntuti Seokjin.

Bukan hal sulit, besar di Korea dimana menguntit selebriti adalah hal lumrah, ia tahu apa yang harus dilakukan berdasarkan cerita teman-temannya waktu sekolah dulu.

Ia tahu dimana Seokjin tinggal. Coffee shop langganannya. Dan bar-bar yang suka dikunjunginya saat weekend. Ia tahu jam berapa Seokjin akan memasuki pintu kaca hitam itu, lalu jam berapa ia akan meninggalkan bar itu bersama seorang pria random yang selalu berganti.

Seoho sadar, mudah buat Seokjin menemukan pengganti dirinya. Bagi pria sini, Seokjin terlihat imut, apalagi bahasa Inggrisnya yang masih sedikit kagok dan beraksen terdengar menggemaskan.

Tapi, melihatnya berubah menjadi seseorang yang Seoho tidak pernah kenal, apalagi melihat senyumnya yang begitu lebar setiap kalinya, terus-menerus membuat luka dalam hatinya menganga.

Sampai akhirnya di satu hari, Seokjin berdiri dengan beberapa koper di pinggir jalan, lalu naik ke sebuah taksi dan menghilang.

Waktu berlalu. Seokjin tidak pernah lagi terlihat. Felix mulai dekat dengan pria lain. Dan Seoho akhirnya menerima tawaran cinta dari teman sekelasnya, Ruby, yang sudah naksir dirinya semenjak awal kuliah.

Takeaway Days [COMPLETED]Where stories live. Discover now